One man’s trash is another man’s treasure. Setelah menilai bahwa seri kedua dari adaptasi kisah cerita The Chronicles of Narnia, Prince Caspian, kurang begitu berhasil dalam menarik minat penonton, Walt Disney Pictures akhirnya memutuskan untuk melepaskan hak distribusinya, yang kemudian membuat Walden Media – pemegang hak perilisan setiap adaptasi dari The Chronicles of Narnia – memberikan hak distribusi tersebut kepada 20th Century Fox. Perubahan ini sepertinya berhasil memberikan sedikit angin segar dalam gaya penceritaan seri ini. Walau jalan ceritanya tidak sekompleks dua seri terdahulunya, namun seri ketiga ini, The Voyage of the Dawn Treader, harus diakui berhasil menjadi seri yang paling menghibur dari seri film The Chronicles of Narnia yang ada hingga saat ini.
Berlatar belakang setahun setelah petualangan yang dialami Pevensie bersaudara di seri kedua, kisah The Voyage of the Dawn Treader kini berfokus pada Edmund Pevensie (Skandar Keynes) dan Lucy Pevensie (Georgie Henley) yang saat ini sedang tinggal di rumah pamannya ketika mereka sedang ditinggal oleh kedua orangtua dan saudara-saudaranya. Kehidupan Edmund dan Lucy sendiri berjalan kurang menyenangkan, khususnya lagi akibat gangguan yang selalu diberikan keponakan mereka, Eustace Scrubb (Will Poulter). Namun, kehidupan yang kurang menyenangkan tersebut berubah drastis ketika Edmund dan Lucy secara tiba-tiba berpindah kembali ke Narnia – negeri dongeng yang telah lama mereka rindukan. Tidak hanya Edmund dan Lucy yang berpindah, Eustace yang saat kejadian tersebut sedang bersama mereka juga turut berpindah ke Narnia.
Bertiga, mereka kembali bertemu dengan Caspian (Ben Barnes), yang saat ini telah menjadi raja dari Narnia. Caspian sendiri saat ini sedang berada di kapal yang diwariskan oleh sang ayah kepadanya, Dawn Treader, dan sedang dalam perjalanan untuk menemukan tujuh bangsawan Narnia yang pada masa kepemimpinan Miraz diasingkan untuk mengamankan posisinya sebagai pemimpin Narnia. Tujuan Caspian sendiri dalam menemukan ketujuh bangsawan ini tak lain adalah karena ingin menyelamatkan Narnia dari sebuah kekuatan magis yang tak diketahui yang saat ini sedang mengintai dan membahayakan posisi Narnia. Dalam perjalanan inilah, ketika kapal Dawn Treader singgah dari satu daratan ke daratah lainnya, Edmund, Lucy, Eustace, Caspian dan seluruh awak kapal Dawn Treader menghadapi banyak petualangan yang tidak hanya menguji kekuatan fisik mereka, namun juga menguji kekuatan mental dan rasa persahabatan mereka.
Jika petualangan Harry Potter terlihat semakin gelap, bergerak semakin lamban dan ditampilkan dengan durasi yang lebih lama ketika melanjutkan kisah petualangannya, maka seri petualangan The Chronicles of Narnia bergerak ke arah yang sebaliknya. Jika dibandingkan dengan dua seri sebelumnya yang telah hadir, adalah sangat mudah untuk mengidentifikasi The Voyage of the Dawn Treader sebagai bagian seri petualangan The Chronicles of Narnia yang lebih ringan dan lebih menyenangkan untuk disimak jalan ceritanya. Di sisi lain, ‘kesederhanaan’ jalan cerita ini pula yang justru yang menjadi satu-satunya titik kelemahan dari The Voyage of the Dawn Treader.
Para pembaca setia seri The Chronicles of Narnia mungkin akan dengan demikian cepat menyadari bahwa The Voyage of the Dawn Treader adalah versi singkat dari deretan petualangan yang sebenarnya telah dituliskan oleh C. S. Lewis dalam versi buku ceritanya. Mempersingkat jalan cerita dan membuatnya menjadi demikian sederhana sebenarnya bukanlah sebuah ‘kejahatan’ jika Anda ingin mengadaptasi sebuah buku menjadi sebuah naskah cerita. Namun, tentu saja, Anda tidak dapat melewatkan beberapa hal esensial yang sebenarnya menjadi inti dari jalan cerita buku tersebut. Dalam kasus The Voyage of the Dawn Treader, tim penulis naskah sepertinya terlalu berfokus pada kisah-kisah petualangan yang ditemui para karakternya dan sedikit melupakan mengenai apa tujuan sebenarnya dari perjalanan yang dilakukan oleh Caspian dengan kapal Dawn Treader-nya. Penonton hanya mendapatkan informasi yang minim mengapa hal tersebut dan beberapa hal lainnya yang terjadi di dalam jalan cerita versi film The Voyage of the Dawn Treader.
Terlepas dari jalan cerita yang ‘terlalu’ sederhana, The Voyage of the Dawn Treader sebenarnya adalah sebuah perjalanan yang sangat menyenangkan untuk disimak. Para karakter yang dihadirkan di sepanjang jalan cerita terlihat sangat mampu untuk menghidupkan jalan cerita – kemungkinan besar karena para pemerannya yang telah semakin nyaman dalam memerankan karakter-karakter mereka. Keputusan sutradara, Michael Apted (The World is Not Enough, 1999), untuk menekankan sisi petualangan daripada sisi dramatis juga tidak berdampak buruk pada film ini. Memilih untuk menceritakan jalan cerita dengan alur yang cepat, membuat The Voyage of the Dawn Treader menjadi begitu mudah untuk diselami jalan ceritanya.
Penceritaan yang cepat juga tak membuat Apted lupa untuk memasukkan unsur emosional yang menyentuh ke dalam kisah petualangan ini. Memanfaatkan premis ‘petualangan terakhir’ Edmund dan Lucy di dunia Narnia, yang dihadirkan di penghujung film, Apted berhasil dengan sangat baik menampilkan kedekatan antara satu karakter dengan karakter lainnya dan membuat The Voyage of the Dawn Treader seperti sebuah kisah petualangan di dunia Narnia terakhir yang sangat menyentuh. Ditambah dengan iringan tata musik karya komposer David Arnold, bagian ‘perpisahan’ antara Edmund dan Lucy dengan Aslan (diisisuarakan oleh Liam Leeson), Caspian dan dunia Narnia karena kedewasaan mereka merupakan bagian terbaik dalam The Voyage of the Dawn Treader yang akan berhasil menyentuh siapapun yang menontonnya.
Faktor lain yang merupakan sebuah kesuksesan besar bagi Apted dalam menggarap The Voyage of the Dawn Treader adalah keberhasilannya dalam menterjemahkan petualangan setiap karakter yang ada di dalam jalan cerita lewat pemilihan gambar-gambar yang sangat indah untuk disaksikan. Latar belakang cerita yang berada di lautan juga dapat dioptimalkan dengan baik oleh Apted lewat pemilihan untuk menggunakan teknologi 3D dalam merepresentasikan kisah film ini. Tidak dapat disangkal bahwa penggunaan teknologi 3D dalam The Voyage of the Dawn Treader merupakan salah satu pemanfaatan teknologi 3D terbaik di sepanjang tahun ini.
Bergerak ke arah yang berlawanan dari jalur yang ditempuh oleh petualangan Harry Potter dalam menceritakan lanjutan kisah petualangannya, The Voyage of the Dawn Treader harus diakui sedikit kehilangan esensi ceritanya ketika ditampilkan lewat jalan cerita yang ringkas tersebut. Namun untungnya, hal tersebut tidak terlalu berarti banyak dalam kenikmatan siapapun dalam menyimak jalan ceritanya. Membuang beberapa bagian yang terasa kurang begitu penting dan memilih untuk lebih menonjolkan sisi petualangan dari setiap karakter yang ada dengan alur cerita yang cepat – serta memanfaatkan teknologi 3D dengan sangat baik, sutradara Michael Apted berhasil menjadikan The Voyage of the Dawn Treader sebagai bagian yang paling menyenangkan dari seluruh seri The Chronicles of Narnia yang telah diadaptasi dalam bentuk film. Sebuah kemajuan pesat dari adaptasi kisah The Chronicles of Narnia yang membuat kelanjutan seri ini menjadi layak untuk ditunggu di masa yang akan datang.
Rating :