Premis Morgan tidak baru. Ilmuan yang bermain sebagai tuhan dengan menciptakan kehidupan artifisial sudah banyak menjadi tema berbagai film. Bahkan semenjak Frankenstein hingga Species, atau Splice, dan mungkin yang paling segar di ingatan, Ex Machina. Lantas apa yang membedakan? Nyaris tidak ada sebenarnya. Namun ini adalah debut penyutradaraan Luke Scott, putra sineas kondang, Ridley Scott, sehingga menarik untuk mengetahui apakah apel jatuh tidak jauh dari pohonnya?
Morgan (Anya Taylor-Joy) adalah nama untuk sosok manusia buatan produksi sebuah perusahaan besar. Ia dibiakkan di sebuah fasilitas ilmiah yang terletak di kawasan hutan terpencil (tentu saja) pimpinan Dr. Lui Cheng (Michelle Yeoh) dan Dr. Simon Ziegler (Toby Jones). Sebuah "insiden" yang mengakibatkan salah seorang ilmuan, Dr. Kathy Grieff (Jennifer Jason Leigh) harus mendapat perawatan, menyebabkan pihak perusahaan mengirimkan personel mereka bernama Lee Weathers (Kate Mara), untuk menganalisa apakah proyek Morgan perlu dilanjutkan atau tidak.
Lee yang tenang dan misterius ini terus mengamati gerak gerik Morgan yang tampil layaknya seorang remaja belasan meski sejatinya baru berusia lima tahun saja, termasuk interaksinya bersama sang "pengasuh" kesayangan, Dr. Amy Menser (Rose Leslie). Namun saat evaluasi psikologis yang dilakukan seorang pakar bernama Dr. Alan Shapiro (Paul Giamatti) kembali berujung sebuah insiden berdarah, maka Lee pun mengambil tindakan reaktif dengan memburu Morgan.
Semenjak dari adegan pembuka, sebenarnya Morgan sudah memberi indikasi akan menjadi sebuah film yang mengandalkan horor akibat teror sang mahluk buatan. Terlepas lebih dari separuh durasi awal Morgan seolah-olah ingin berbicara dalam konteks filosofis atau bahkan psikologis. Namun, eksposisi dalam dialog cenderung hanya wacana tanpa konteks mendalam dan diselingi oleh jargon-jargon ilmiah yang cenderung mengundang kebosanan.
Sebenarnya Scott menunjukkan bakat dalam menggali sisi emosionalitas dalam pengadeganannya. Sayangnya naskah gubahan Seth Owen tidak mengizinkan karakter-karakternya untuk melakukan eksplorasi emosi melewati batasan jenerik, sehingga sisi humanis film nyaris tidak tergali. Ada beberapa dengan tendensi menyentuh, namun Scott terlanjur setia dengan sentimentalitas naskah sehingga menafikan untuk melakukan improvisasi.
Walhasil, barisan aktor yang dikenal dengan akting mentereng, seperti Mara, Jones, Leslie, atau Yeoh, mengalami keterbatasan untuk bisa hadir dengan dimensi lebih luas dari apa yang telah digariskan naskah film. Sungguh disayangkan Leigh dan Giamatti, serta bonus Brian Cox hadir layaknya cameo saja, sehingga nyaris mubazir. Dengan pengecualian Giamatti yang mendapatkan muatan adegan yang cukup berkesan, terlepas keterbatasan porsinya.
Setelah menuai perhatian berkat aksinya dalam film horor fenomenal The Witch, Anya Taylor-Joy pun bermain cukup baik sebagai sang karakter yang menjadi judul, meski dipastikan tidak akan memberi impresi lebih selepas menyaksikan filmnya.
Memasuki paruh kedua, Morgan mengubah genrenya dari fiksi ilmiah menjadi horor murni dengan bumbu aksi dengan transisi yang terasa kasar alias tidak mulus. Meski tidak istimewa, sebenarnya Scott menunjukkan potensi dalam departemen ini. Sekali lagi ia dihadang keterbatasan dalam naskah yang kurang imajinatif, terlalu mengandalkan klise, serta logika berantakan.
Bukan berarti Morgan buruk sekali juga. Hanya saja, Scott masih perlu banyak belajar jika memang ingin menghasilkan film yang lebih menarik lagi. Apalagi ia punya modal untuk itu. Jadi, asal jangan bayangkan Alien salah satu karya terbaik sang ayah dalam ranah horor/fiksi-ilmiah sebagai perbandingan misalnya, debut Luke Scott ini masih cukup enak untuk dinikmati.
Rating :