Venus ‘Vee’ Delmonico (Emma Roberts) mempunyai wajah ayu, kemampuan membidik kamera yang apik, tapi dia bukanlah gadis paling digilai para lelaki di sekolahnya. Ketakutannya untuk keluar dari zona nyaman menyulitkannya berterus terang kepada sang ibu (Juliette Lewis) mengenai masa depannya dan memerangkapnya sebagai dayang-dayang dari Sydney (Emily Meade), seorang pemandu sorak yang populer. Kehidupan Vee yang bisa dibilang monoton mendadak berubah 180 derajat ketika sebuah kejadian memalukan memicu kemarahannya hingga mencapai titik kulminasi, membuatnya nekat mendaftarkan diri menjadi salah satu kontestan di permainan ilegal berbasis dunia maya bernama Nerve yang tengah digandrungi generasi muda. Aturan permainan Nerve sendiri terbilang sederhana. Saat kamu memasuki laman utama, muncul dua opsi untuk dipilih; pemain atau penonton. Melibatkan diri sebagai pemain berarti menuntaskan setiap tantangan demi merebut hadiah berupa uang sekaligus popularitas, sementara memilih sebagai penonton berarti membayar guna menyaksikan para pemain beraksi via ponsel pintar maupun komputer. Pemain dapat mencapai level lebih tinggi tidak semata-mata ditentukan oleh keberhasilannya menaklukkan tantangan, tetapi juga seberapa besar respon penonton terhadapnya.
Pemain memperoleh status ‘game over’ apabila gagal menyelesaikan tantangan atau mundur teratur. Disamping harus direkam menggunakan ponsel genggam dan kegagalan berujung dicabutnya raihan hadiah, peraturan Nerve secara tegas turut menyatakan: dilarang melaporkan keberadaan game ini ke otoritas berwenang atau terima konsekuensinya. Mulanya, Nerve tak ubahnya film komedi bertema coming of age yang mengalun santai-santai saja. Vee bertindak nekat demi pembuktian diri, Sydney haus akan popularitas sehingga memilih berpartisipasi dalam Nerve sedari awal, dan Tommy (Miles Heizer), sahabat kedua gadis ini, diam-diam menaruh hati kepada Vee namun tidak mempunyai cukup nyali buat mengungkapkannya. Munculnya kontestan lain, Ian (Dave Franco), yang secara cepat dekat dengan Vee kian memperumit posisi Tommy. Tapi kemudian, duo sutradara Henry Joost-Ariel Schulman yang pernah memberi kita paparan mind-blowingperihal online dating di film dokumenter bertajuk Catfish, perlahan tapi pasti memudarkan nada penceritaan bersifat ringan penuh keceriannya begitu tantangan dieskalasi level kesulitannya yang menjurus ke marabahaya. Ya, Nerve berpindah lajur ke ranah thriller.
Tanda-tandanya mulai tercium ketika Vee dan Ian yang popularitasnya melesat seusai memutuskan bekerjasama tidak lagi memperoleh tantangan remeh temeh bermodalkan muka badak semacam mencoba gaun mahal dan tergantikan oleh tantangan maut seperti mengendarai sepeda motor dalam kecepatan tinggi dengan pandangan tertutup. Mengetahui Vee makin tak terkontrol, orang-orang terdekat Vee pun bereaksi. Tommy mencoba membongkar identitas sesungguhnya dari rekan Vee, Ian, yang lantas menuntunnya pada fakta mengejutkan. Seiring semakin berbahayanya permainan, laju Nerve pun kian kencang. Dari awalnya berada di fase ketawa ketiwi menyaksikan betapa konyolnya bentuk tantangan yang diberikan kepada kontestan, penonton dibawa merasakan fase jantung berdebar-debar saat protagonis kita mendapat tantangan mengancam nyawa. Meski kita tahu benar Vee tidak akan meregang nyawa secepat itu – well, durasi masih tersisa 60 menit – tapi adanya keterikatan emosi berkat performa bagus Emma Roberts yang menjalin kekompakan meyakinkan pula bersama Dave Franco membuat kita tidak bisa duduk nyaman di kursi bioskop setiap kali sosok Vee dipaksa menjalankan tantangan yang semakin lama semakin tidak masuk akal.
Ketegangan muncul sebagai hasil dari kepedulian kita pada Vee, plus tentunya kemahiran si pembuat film mengkreasi momen-momen penahan nafas. Ya, Joost-Schulman piawai menceritakan kembali tulisan Jessica Sharzer yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Jeanne Ryan ke bahasa gambar menjadikan Nerve renyah buat disantap dari menit ke menitnya. Selain sanggup membuat kita peduli terhadap karakter utama, mereka pun berhasil menjerat perhatian pada tuturan sarat misterinya dengan merongrong keingintahuan penonton perihal “siapa sebenarnya otak dibalik Nerve?” atau “siapa sejatinya Ian?” sampai “bagaimana Vee terbebas dari permainan neraka ini?”. Faktor lainnya, Nerve melontarkan kritik sosial tepat guna mengenai para pengguna internet dewasa ini. Terlahirnya serangkaian aplikasi baru hampir setiap hari, mengakomodir para netizen memenuhi hawa nafsunya. Nerve memberikan sorotan pada mencuatnya sisi gelap manusia berkat keleluasaan ‘bermain peran’ dan kemudahan mengakses dunia maya. Dari pihak pemain, si pembuat film menelisik bagaimana nikmatnya merengkuh popularitas – tidak peduli walau hanya sekejap mata – memafhumkan manusia melakoni tindakan-tindakan diluar ambang batas bisa ditolerir demi mendapatkan perhatian khalayak.
Sedangkan pihak penonton adalah visualisasi istilah keyboard warrior yang merujuk kepada pengguna internet yang gemar memantik kericuhan (contoh, cyber bullying,tweetwar, dan semacamnya) namun seringkali terlalu pengecut sampai dirasa perlu berlindung dibalik akun anonim. Melalui Nerve, kita bisa melihat sejauh mana para manusia yang menyembunyikan identitasnya di dunia maya dapat bertindak saat tidak ada kontrol. Adegan pengungkapan di klimaks film yang dirancang agak sedikit berlebihan – pula kurang memberi jawaban memuaskan untuk satu dua pertanyaan – nyatanya cukup efektif memberi kita tamparan hebat sekaligus renungan seusai menonton Nerve, “jika satu dua kata di internet bisa membuat perubahan, mengapa kita tidak memanfaatkannya untuk hal-hal positif dan justru bersuka ria saat ada orang lain menderita?.” Sungguh sebuah tontonan menegangkan yang menggugah pikiran.
Rating :