Sabtu Bersama Bapak masih mengikuti trend film Indonesia yang diangkat dari novel populer. Jadi, bagi para pembaca setia bukunya mungkin berharap-harap cemas apakah versi film akan sesuai dengan imaji yang mengendap di benak mereka setelah membaca bukunya.
Lupakan anggapan naif jika sebuah buku dan film adaptasi sebaik-sebaiknya tidak usah terlalu diperdandingkan, rasa-rasanya film arahan Monty Tiwa ini cukup membayar lunas harapan pembaca buku karangan Adhitya Mulya (Jomblo) tersebut.
Hanya saja, bukan berarti ini film yang menarik juga. Monty Tiwa adalah seorang penulis naskah dan sutradara yang cukup handal. Beberapa karya sebelumnya sudah menjadi bukti untuk itu. Namun, Sabtu Bersama Bapak sepertinya gagal untuk bisa dimasukkan dalam daftar karya terbaiknya.
Beberapa menyebutkan jika aspek medis film terasa mengganggu, namun celah yang lebih menonjol adalah segi teknis yang tidak memukau. Penggunaan lens flare tanpa signifikansi hanya masalah kecil dari Sabtu Bersama Bapak. Inkonsistensi dalam tempo, tone, dan cerita adalah masalah terbesarnya.
Jadi begini, Sabtu Bersama Bapak memadankan antara komedi dan drama. Hanya saja keduanya tidak memiliki kekuatan yang berimbang. Segi drama terasa datar, sedang komedi menjulang kocak dengan segala polahnya. Saat sisi drama gagal menyuarakan esensinya, sisi komedi justru lebih sukses menyampaikan meski dengan santai.
Bagian drama diwakili oleh karakter Satya (Arifin Putra) bersama sang istri, Rissa (Acha Septriasa), sedang komedi dipercayakan kepada sang adik, Cakra (Deva Mahenra) yang mencoba mencari tambatan hati atas desakan ibu mereka, Itje (Ira Wibowo).
Sementara itu, ada sosok ayah, Gunawan Garnida (Abimana Aryasatya), yang meski tidak di ada lagi di tengah keluarganya karena telah pergi untuk selama-lamanya, namun membekali keluarga ini dengan sekumpulan video yang berisi petuah-petuah hidup pada anak-anaknya.
Jomplangnya dua aspek dramatik Sabtu Bersama Bapak ini bisa disusuri dari materi awalnya, sang novel. Sebenarnya bisa saja film mengembangkan plot tipis dari buku agar lebih berisi. Hanya saja Monty lebih memilih untuk (cukup) setia dengan sang novel dengan sedikit penyesuaian di beberapa detil. Sebuah pilihan yang rupanya tidak tepat.
Film seperti bingung mau becerita tentang apa. Keteladanan seorang bapak, upaya menjadi bapak atau drama rumah tangga? Tidak masalah juga jika sebuah film merangkum berbagai aspek berbeda sekaligus. Cuma ya sebaiknya jangan berdiri sendiri-sendiri, sebagaimana yang dipamerkan oleh Sabtu Bersama Bapak.
Untungnya film dibekali barisan pemain dengan kualitas mumpuni. Akting mereka menutupi kelemahan film. Meski demikian, Deva Mahenra harus mendapatkan catatan tersendiri. Dengan luwes ia bisa menyeimbangkan bagian drama dan komedi yang diperlukan ceritanya. Ia menjadi suar penggerak filmnya. Lepaskan sisi drama dan fokus pada alur cerita karakternya saja, Sabtu Bersama Bapak akan menjadi film yang menarik untuk ditonton berulang-ulang.
Sabtu Bersama Bapak sebenarnya bisa menjadi sebuah film keluarga hangat berkesan. Namun dengan cerita yang terlalu tipis, fokus tema yang tidak jelas, serta tone berantakan, ia tidak lebih dari sebuah melodrama Sabtu sore yang cerah yang bisa disaksikan di ruang keluarga dan kemudian terlupakan.
Rating :