Habibie & Ainun mungkin salah satu film Indonesia tersukses sepanjang masa (mengumpulkan kurang lebih 4.7 juta penonton saat tayang di tahun 2012), namun apakah ia memerlukan sebuah film lain? Habibi & Ainun mungkin bukan film biografi paling komprehensif, tapi sepertinya sudah membahas secara cukup jelas siapa itu sosok Habibie.
Dan setelah menyaksikan Rudy Habibie yang merupakan prekuel dari film tersebut (meski anehnya diberi subjudul Habibie & Ainun 2), maka jawabannya adalah tidak perlu.
Reza Rahadian masih dipercaya untuk memerankan B.J. Habibie. Namun tidak ada Bunga Citra Lestari di sini karena (nyaris) tidak menyisakan ruang untuk karakter Ainun. Alih-alih, Rudi Habibie memaparkan masa muda Habibie, saat ia merintis eksistensinya sebagai visionaris muda Indonesia dengan segala idealismenya.
Dengan demikian Rudy Habibie pun mencoba mengangkat heroisme, tekad, dan determinasi sang karakter utama dalam bentuk semenggugah mungkin. Hanya saja, apalah artinya sebuah drama biografi jika terlalu tekstual? Mungkin demikian anggapan orang-orang di belakang layar. Maka, tentu saja roman percintaan harus pula disertakan. Hadir sosok perempuan berdarah Polandia bernama Ilona (Chelsea Islan) yang memberi bunga-bunga dalam hidup Habibie muda.
Dengan durasi 2 jam 22 menit, Rudy Habibie terasa melelahkan. Permasalahan terbesar yang menjadi penyebab adalah tidak padatnya naskah yang menjadi dasar film. Ada Hanung Bramantyo, sang sutradara, yang bekerjasama dengan Ginatri S. Noer, dalam bertugas untuk menulis naskah yang diangkat dari buku karya Ginatri, Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner .
Tampaknya Hanung dan Ginatri sangat bernafsu ingin mengungkap banyak hal, drama pembangun semangat, roman percintaan, hingga suspensi di dalam film. Sayangnya, masing-masing tidak memiliki takaran yang pas. Parahnya, terjadi pergulatan untuk menjadi paling menonjol. Akhirnya ritme film menjadi korban.
Perpindahan ritme yang tidak rapi, selain naskah longgar tadi, menjadikan Rudy Habibie memiliki fokus yang tidak kuat. Penceritaan Hanung yang buruk pun tidak membantu. Jelas ia terlihat berambisi menjadikan Rudy Habibie menjadi film yang epik, namun tidak dibekali dengan visi yang jelas akan presentasi filmnya. Walhasil, film bertutur dengan tergagap, tone berantakan, dan lebih mengedepankan dramatisasi berlebihan.
Secara teknis, film pun terasa medioker, bahkan di beberapa bagian lebih terasa seperti film yang layak dikonsumsi di televisi. Imbuhan aerial shot dengan menggunakan drone terasa tidak pas atau pada tempatnya. Jika diniatkan untuk memoles kesan medioker tadi, maka sama sekali tidak berguna. Tata musik dramatis yang senantiasa memaksa meminta perhatian juga tidak membantu.
Pada akhirnya menyaksikan Rudy Habibie memang hanya untuk menyaksikan aksi gemilang seorang Reza Rahadian saja. Tidak lebih.
Rating :