Ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda, ratusan peneliti dan akademisi datang dari Eropa ke pulau Jawa. Ada sesuatu yang menarik di selatan dunia, yang mengundang profesor dan kalangan terdidik untuk mengulik masyarakat yang pada saat itu sedang terjajah. Manusia Jawa memiliki keunggulan luar biasa dalam bertahan dari tekanan luar (dalam konteks waktu ini, ‘luar’ berarti Eropa). Dalam sejarahnya, mereka tidak pernah menolak mentah-mentah sebuah budaya baru yang muncul. Sebaliknya, mereka selalu berusaha untuk mencari keselarasan dalam perbedaan yang ada. Sedari jaman masuknya Hindu-Buddha, Islam, hingga Eropa, Jawa selalu berhasil menyelaraskan budaya lokal dengan ide-ide baru. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang mengguncang Barat pada saat itu, di mana dalam peradaban Barat (baca: Eropa) bukanlah keselarasan yang dipentingkan, melainkan prinsip.
HipHopDiningrat, disutradarai oleh Mohammad “Kill The DJ” Marzuki dan Chandra Hutagaol, adalah sebuah film yang sungguh mengejutkan saya. Tak diduga sebelumnya bahwa malam itu saya akan menghadiri pemutaran perdana sebuah film dokumenter karya anak bangsa – anak Jogja, untuk lebih spesifik – yang dengan gamblang namun santai menuturkan sebuah fenomena akulturasi budaya yang terjadi di Jogja. Akan terjadinya sebuah percampuran antar Hindu dan Islam di Jawa, saya sudah tahu. Demikian pula dengan adaptasi yang dilakukan masyarakat Jawa terhadap Barat, itu-pun sudah familiar bagi saya. Namun, musik hip-hop dalam bahasa Jawa? Tak terbayangkan sebelumnya. Lebih gila lagi; Serat Centhini dalam musik hip-hop?
Pernah saya dengar sebelumnya, bahwa ‘sebuah kreativitas akan muncul salah satunya ketika seorang seniman tertekan, atau menderita.’ Saya tidak terlalu paham apakah Mohammad Marzuki dan kawan-kawan mengalami sebuah penderitaan dan pada akhirnya menelurkan sebuah karya musik demikian, namun saya paham bahwa musik yang dihasilkan oleh anak-anak Jogja ini bukanlah main-main (apakah ia berawal dari ‘main-main’, itu merupakan arti yang berbeda). HipHopDiningrat melantunkan kisah budaya hip-hop di Jogja dengan sungguh fasih, dengan sesekali menyertakan wawancara dengan seniman dan akademisi yang uniknya tidak membuat film ini terasa berat dan membosankan, namun justru memperkayanya dengan asupan ilmu dan wacana tanpa terasa menggurui sedikitpun. Film ini juga menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, yang semakin membuat saya kagum akan kekayaan salah satu bahasa terbanyak pembicaranya di dunia ini.
Yang membuat HipHopDiningrat menjadi berbeda bukan hanya dari kelengkapan arsip yang selama ini disimpan dengan lengkap dan rapi oleh Mohammad Marzuki untuk kemudian dijabarkan dalam film ini, atau sejarah Jogja HipHop Foundation (JHP) – yang pada tahun ini berumur 7 tahun - yang diuraikan dengan apik, atau wawancara dengan personel JHP yang mengundang gelak tawa. HipHopDiningrat berbeda karena ia membuka mata pirsawan dengan mengungkap sebuah komunitas dan budaya yang sedang tumbuh subur, yang memperkaya lingkungannya dengan energi kreatif dan karya-karya segar. Ia laiknya sebuah bukti adanya harapan baru di tengah ‘tandusnya’ minat generasi muda terhadap akar dan tradisi.
HipHopDiningrat adalah sebuah karya bersahaja yang mempersembahkan betapa indah dan majunya sudut pandang keselarasan, yang selama ini dikenal oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Dua hal yang tampak berbeda, bisa menghasilkan satu karya baru yang istimewa. Jika Serat Centhini dan Smaradhana bisa mengalun dalam melodi hip-hop, kejutan apa lagi yang akan mereka persembahkan berikutnya?
Rating :