Sebagai salah satu penggerak trend film adaptasi komik superhero dengan pendekatan realistis, franchise X-Men merupakan salah satu yang terdepan. Sudah 16 tahun berlalu semenjak X-Men (2000) dan film ini secara konsisten merilis film demi film guna memuaskan para penggemar. Dan kini hadir yang terbaru, X-Men: Apocalypse, bagian ketiga dari trilogi prekuel yang dimulai dengan X-Men: First Class (2011).
Jika First Class berseting dekade 60-an dan kelanjutannya, Days of Future Past (2014) mengambil era 70-an, maka Apocalypse kemudian bergerak ke dekade berikutnya, 80-an. Menariknya seri X-Men di trilogi kedua ini selalu mengambil wacana yang tengah hangat di masa tersebut sebagai bagian cerita. Dengan seting dekade 80-an, maka ide tentang perang nuklir dan kehancuran dunia menjadi sajian.
Hanya saja secara utama Apocalypse masih berkutat tentang friksi antara manusia dengan para mutan. Duapuluh tahun berlalu, dan meski sebagian mutan, seperti Professor X atau Charles Xavier (James McAvoy) misalnya, menunjukkan itikad baik, sebagian besar mutan lain masih mendapat stigma buruk dan perlakuan semena-mena. Oleh karenanya Raven Darkhölme/Mystique (Jennifer Lawrence), yang kini mendapat status sebagai pahlawan di antara kalangan mutan muda, mencoba menyelamatkan mereka yang tersia-sia ini.
Sementara itu Magneto atau Erik Lehnsherr (Michael Fassbender) mencoba untuk hidup tenang di suatu daerah terpencil di Polandia. Namun sebuah tragedi mencetuskan kembali rasa amarahnya kepada manusia.
Di tempat lain, Kairo tepatnya, sosok mutan purba bernama En Sabah Nur (Oscar Isaac), bangkit dari tidur panjangnya. Bersama seorang mutan remaja jalanan bernama Ororo Munroe (Alexandra Shipp), mengumpulkan beberapa mutan lain untuk membantunya melakukan restorasi terhadap kehidupan bumi.
Saat keselamatan dunia dan hidup Professor X berada dalam genggaman En Sabah Nur, maka Mystique dan Hank McCoy/Beast (Nicholas Hoult) bersama dengan agen CIA Moira MacTaggert (Rose Bryne) dan beberapa mutan remaja, Peter Maximoff/Quicksilver (Evan Peters), Scott Summers/Cyclops (Tye Sheridan), Jean Grey/Phoenix (Sophie Turner) dan Kurt Wagner/Nightcrawler (Kodi Smit-McPhee) harus bergegas menjadi penyelamat.
Selain aspek tematis yang sebenarnya pengulangan dengan sedikit variasi, dari segi aksi-laga atau efek khusus Apocalypse tidak menawarkan sesuatu yang baru. Meski begitu Singer masih memiliki tangan dingin dalam mengeksekusi beberapa adegan memukau, termasuk tentunya kelebatan menakjubkan Quicksilver dalam aksinya, tak kalah dibandingkan debutnya di Days of the Future Past. Oleh karenanya, dalam durasi yang cukup panjang, 144 menit, Apocalypse tidak pernah membosankan.
Namun ternyata durasi yang panjang ini pun tak cukup dalam memperluas dimensi cerita atau membentuk karakterisasi yang bulat. Bisa jadi memang karena melimpahnya jumlah karakter utama, sehingga film tidak memiliki porsi lega untuk dapat memberi latar belakang masing-masing secara proporsional.
Imbasnya, beberapa karakter yang seharusnya kuat, kemudian sekedar menjadi pemanis saja. Sebutlah Psylocke (diperankan dengan sangat baik oleh Olivia Munn) dan Archangel (Ben Hardy) yang seharunya memberi aksentuasi pada motif dan tindakan En Sabah Nur, sang Apocalypse. Ujung-ujungnya bahkan Apocalypse sendiri terasa tidak menarik dan cenderung gampang dilupakan.
Padahal ada beberapa momen subtil dalam film, seperti adegan Erik Lehnsherr (didukung akting menawan Fassbender) bersama keluarga barunya di Polandia, yang memiliki tone dan ambient gelap/suram, berlawanan dengan kaya warna di sebagian besar filmnya. Mungkin seperti film berbeda yang disematkan menjadi satu, namun memberi kedalaman tersendiri untuk X-Men: Apocalypse.
Terlepas dari itu X-Men: Apocalypse masih merupakan sebuah event film superhero memuaskan. Kaya warna, seru, menghibur, spektakuler dan pastinya memuaskan para penggemar komiknya.
Rating :