Biasanya film-film diangkat dari karya tulis Asma Nadia itu adalah bercorak drama. Contohlah 'Emang Ingin Naik Haji, 'Assalamualaikum, Beijing!', atau 'Surga Yang Tak Dirindukan'. Tapi kali ini kita kedatangan sesuatu yang berbeda, sebuah thriller misteri dalam 'Pesantren Impian'. Menariknya lagi, ada Ifa Isfansyah ('Sang Penari', 'Pendekar Tongkat Emas') berada di belakang kamera sebagai sutradara.
Asma Nadia sempat menyebutkan jika ia besar dengan karya-karya Agatha Christie. Tidak heran jika plot usungan 'Pesantren Impian' mengingatkan akan salah satu karya besar sang maestro cerita detektif tersebut, 'And Then There Were None' atau biasa kita kenal di sini dengan '10 Anak Negro'.
Ada 10 orang perempuan cantik dengan masa lalu kelam diundang untuk ke sebuah pondok pesantren yang berlokasi di sebuah pulau terpencil. Bernama Pesantren Impian, pondok dipimpin oleh Gus Budiman (Deddy Soetomo) yang duduk di kursi roda dan selalu didampingi asistennya, Umar (Fachri Albar).
Terselip dari 10 perempuan tersebut adalah seorang polisi berpangkat Briptu, Dewi (Prisia Nasution), yang sebenarnya tengah menyelidiki suatu kasus pembunuhan dan mencurigai jika salah satu calon santriwati (diperankan antara lain oleh Dinda Kanya Dewi, Indah Permatasari dan Annisa Hertami) merupakan pelakunya. Namun penyelidikan Dewi menemui jalan buntu saat satu persatu penghuni pondok terbunuh dengan menggenaskan.
Memadukan antara thriller dan drama religi sebenarnya bukan pekerjaan gampang. 'Pesantren Impian' bisa menjadi contohnya. Ada beberapa bagian dimana muatan religi ditempatkan dengan cukup pas dan menjalankan tugasnya untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Di beberapa bagian lain terasa sebagai tempelan.
Sementara di sisi thriller. sejujurnya 'Pesantren Impian' keteteran membangun suspensi yang terjaga. Banyak momentum ketegangan dibangun dengan mengandalkan formula tertebak kalau tidak mau disebut jenerik atau klise, sehingga mungkin menghilangkan intensitas yang seharusnya ditampilkan. Belum lagi eksekusi adegan klimaks gagal dalam mencapai... klimaks. Terasa mentah.
Ifa Isfansyah sepertinya memang kurang bisa menggali sisi "thrill" dari filmnya, meski ia membayarnya dengan pengarahan yang luwes dalam membangun sisi dramanya. Kadang inilah menyebabkan 'Pesantren Impian' terasa seperti dua film menempel menjadi satu, namun tidak benar-benar mengikat dengan kuat.
Tentu saja ini bisa jadi disebabkan oleh kurang mulusnya editing film. Memang, tempo film berjalan dengan cepat. Sangat cepat malah di paruh awal, sehingga terkesan berkelebat. Menyisakan banyak pertanyaan ketimbang jawaban, termasuk pengenalan dan elaborasi motivasi karakter yang tidak tegas.
Meski patut dipuji keberanian pemilihan beberapa pendekatan tidak konvensional dan berani untuk sebuah drama religi, mungkin naskah tulisan Salim Bachmid dan Alim Sudio ('Air Terjun Pengantin, 'The Perfect House') bisa menjadi penyebabnya. Alur terasa dipangkas agar padat, meski konsekuensinya menghilangkan dramaturgi yang lebih baik.
Tentunya tidak salah jika proses adaptasi sebuah buku menjadi film perlu penyesuasian di sana-sini. Hanya saja, setelah menyaksikan filmnya secara keseluruhan, rasanya akan lebih menarik andai saja 'Pesantren Impian' lebih setia kepada materi aslinya.
Tapi, dengan segala kelemahannya, ternyata 'Pesantren Impian' tetap mengikat untuk ditelusuri hingga akhir, termasuk saat kemudian dihajar dengan sebuah "kejutan" cerita yang hadir tanpa aba-aba dan sebenarnya terasa menganggu. Film terselamatkan oleh dinamika antar karakternya, serta efektifnya Ifa dalam menyisipkan sisi emosional di dalamnya.
Dan beruntung ada Prisia Nasution menjadi penggerak arus ceritanya. Ia memberi nuansa dan kedalaman untuk karakter yang sebenarnya bisa menjadi satu dimensi di tangan pemain yang salah. Phia juga menjadi suar untuk rekan-rekan pemain lainnya. Film menjadi hidup di setiap ada dirinya. Untungnya lagi, ia hadir dalam porsi sangat mendominasi.
Rating :