Kejenuhan terhadap film fiksi ilmiah remaja yang disarikan dari novel young adult laris akhirnya benar-benar saya rasakan kala menonton The 5th Wave di layar lebar. Garapan J Blakeson, pembesut film indie apik The Disappearance of Alice Creed, berdasarkan prosa bertajuk serupa karangan Rick Yancey ini lagi-lagi menganut template “gadis normal yang mendadak menjadi ‘The Chosen One’ untuk menyelamatkan dunia (atau setidaknya spesies tertentu)” seperti halnya The Hunger Games, The Host, Divergent, serta beberapa judul lain yang bahkan saya tidak bisa lagi ingat secara jelas. Ya, The 5th Wave masih menerapkan formula yang sudah mengalami bongkar pasang berulang kali dalam beberapa tahun terakhir dengan hasil beragam pula. Ketertarikan saya terhadap The 5th Wave pun tercipta semata-mata karena Chloë Grace Moretz (yes, I am a fan!). Jika ada daya pemikat lain, maka itu indikasi Blakeson akan menciptakan kombinasi menarik antara ‘alien invasion’ dengan ‘disaster movie’ yang sayangnya juga mulai terasa overused belakangan ini. Duh.
Pada awalnya, Cassie Sullivan (Chloë Grace Moretz) tidak ubahnya gadis SMA kebanyakan yang menjalani hari-harinya dengan sekolah, mengikuti ekstrakurikuler, dan sesekali berpesta. Tidak ada yang istimewa atau aneh dari kehidupannya, semuanya berlangsung normal. Akan tetapi segala kenormalan hidup Cassie seketika terenggut saat ‘The Others’ – sebutan untuk sepasukan makhluk asing dari planet lain – menginvasi bumi dan mencoba memusnahkan peradaban manusia melalui lima gelombang; memadamkan listrik, menciptakan tsunami, mendatangkan wabah mematikan, dan mengambil alih tubuh manusia. Kedua orang tuanya meregang nyawa dalam empat gelombang pertama ini, sementara sang adik, Sam (Zackary Arthur), direkrut paksa oleh Angkatan Darat Amerika Serikat bersama remaja-remaja lainnya termasuk teman satu sekolah Cassie, Ben Parrish (Nick Robinson), untuk memerangi para alien guna mencegah munculnya gelombang kelima. Dalam perjalanannya menemukan Sam yang terpisah darinya, Cassie berjumpa dengan Evan Walker (Alex Roe) yang memaparkan fakta mengejutkan – well, anggap saja demikian – perihal para alien.
Untuk sesaat, The 5th Wave memberi kesan seru pada penonton. Adegan pembuka yang memperlihatkan kegamangan Cassie pada pilihan ‘menembak atau tidak menembak’ memunculkan sensasi tegang sekaligus secercah keyakinan bahwa film ini mungkin saja akan mewarisi kekuatan tetralogi The Hunger Games. Menit selanjutnya, saat Blakeson menggunakan teknik kilas balik untuk mengungkap apa-apa sebetulnya terjadi pada bumi, intensitas pun masih dapat dirasakan sekalipun efek khusus yang dipergunakan The 5th Wave jauh dari kata mulus (paling nyata kentara dalam penggambaran terjangan tsunami). Ada excitement tersendiri menyimak bagaimana si pembuat film memvisualisasikan kekacauan yang melanda tempat tinggal kita ini dari empat gelombang yang setiap gelombangnya – sekalipun tidak pernah betul-betul mencekat – membuat saya semakin penasaran untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Ya, paling tidak sepanjang 30 menit pertama, The 5th Wave adalah sebuah tontonan seru dan cukup enak buat dikudap.
Tapi setelah peristiwa penembakan itu terjadi, ketegangan (plus daya tarik) film perlahan tapi pasti mulai menurun. Laju pengisahan yang semula gesit pun berubah lambat berlarat-larat terutama setelah plot mengalihkan fokusnya pada hubungan sama sekali tidak menarik antara Cassie dengan Evan yang belakangan menimbulkan benih-benih asmara. Kegenerikan The 5th Wave pun kian menjadi-jadi terlebih karena kita tahu bahwa akan ada kisah cinta segitiga disini antara Cassie, Evan, dan Ben. Dipaksakan? Memang begitulah materi aslinya. Namun performa lembek dari barisan pemainnya lah – seolah tidak ada niatan sama sekali menghidupkan barisan karakter masing-masing – yang membuat sisa durasi The 5th Wave terasa semakin menyiksa untuk ditonton. Murni hanya Chloë Grace Moretz yang menyumbangkan akting bagus disini karena jajaran pemainnya, well, terlihat begitu kebosanan setengah mati sehingga chemistry pun absen khususnya pada interaksi lempeng Cassie-Evan. Duh.
Tanpa adanya kepedulian terhadap setiap karakter dan guliran pengisahan yang kian menjemukan dari menit ke menit, bagaimana mungkin Blakeson mengharapkan selera penonton pada The 5th Wave tetap tinggi sampai ujung durasi? The 5th Wave tak ubahnya makan malam di suatu restoran mewah yang hanya menggoda di entree, sementara main course dan dessert-nya terasa sangat hambar pula mudah dilupakan sehingga berpengaruh pula ke sensasi menyantap hidangan secara keseluruhan.
Rating :