Tanpa bermaksud mendeskreditkan kapabilitas Ernest Prakasa, namun sulit dielakkan ada semacam keraguan besar menggelayuti hati begitu mengetahui Ernest memperoleh kepercayaan untuk bertanggung jawab terhadap kelangsungan tiga divisi: akting, naskah, dan sutradara, di film debutnya menduduki kursi penyutradaraan sementara jejak rekamnya sendiri belum bisa dikatakan istimewa. Ernest lebih sering menempati posisi penggembira di rentetan film yang dibintanginya dan gaya bercandanya kurang nyantol di selera saya sehingga skeptis pun menjadi kawan akrab yang menemani saya melangkahkan kaki ke gedung bioskop. Dengan pengharapan diatur di level seadanya, maka siapa yang kemudian menyangka jika jebolan Stand Up Comedy Indonesia ini malah berhasil menginjeksikan kesenangan tiada akhir dalam karya pertamanya di medium visual? Ngenest, sebuah film dengan dasar cerita berasal dari buku tiga seri bertajuk Ngenest: Ketawain Hidup a la Ernest karya sang komika, menyumbangkan kejutan paling membahagiakan bagi sinema Indonesia di penghujung tahun 2015 lewat gelaran penuh canda tawa tanpa henti yang juga manis dan hangat.
Terlahir di keluarga keturunan Cina, Ernest (Kevin Anggara/Ernest Prakasa) telah terbiasa mengalami perundungan semenjak menduduki bangku sekolah dasar. Diejek, dipalak, bahkan dikucilkan menjadi santapannya setiap hari dalam pergaulan sosial. Satu-satunya kawan Ernest adalah Patrick (Brandon Salim/Morgan Oey) yang juga beretnis Tionghoa. Tidak ingin terus menerus menempati posisi korban, Ernest memutuskan untuk lebih berbaur dengan kawan-kawan pribuminya walau memperoleh tentangan keras dari Patrick. Dan memang, Ernest pun tidak pernah benar-benar diterima karena keberadaannya hanya untuk dimanfaatkan. Pengalaman serba tak mengenakkan ini lantas membawa Ernest pada satu kesimpulan bahwa cara terbaik agar tidak lagi dianggap ‘berbeda’ adalah menikahi perempuan pribumi. Kesempatan bagi Ernest untuk mewujudkan mimpinya tersebut baru benar-benar menghampiri kala dia berjumpa dengan mojang Sunda bernama Meira (Lala Karmela) di sebuah tempat kursus. Mengira segala pergumulan hidupnya telah tuntas begitu meminang Meira, kenyataannya Ernest malah justru dihantui ketakutan lain yang membuatnya terus menerus menunda dalam memiliki momongan hingga memicu konflik dengan orang-orang terdekatnya.
Memutuskan menonton Ngenest di bioskop, berarti kudu siap menerima konsekuensinya: tertawa tiada habis-habisnya sampai perut serasa kaku sepanjang durasi. Ya, curhatan Ernest Prakasa soal kengenesannya semasa belia lantaran mempunyai ‘mata minimalis’ dan merupakan bagian dari kaum minoritas (baca: Cina) di Indonesia ini merupakan obat mujarab pelepas penat. Sebisa mungkin menghindari lawakan slapstick dengan lebih banyak menonjolkan banyolan-banyolan dipicu oleh dialog menggelitik nan cerdas plus ketepatan waktu dalam melontarkannya (ya, kuncinya ada pada timing!) – kekocakan paling jawara bisa ditemukan menggunakan kata kunci “pakaian”, “bajaj”, dan “dokter” – Ngenest terasa luar biasa menggigit terlebih candaan Ernest menopang penuh plot alih-alih sekadar sketsa, dan tidak terkungkung pada topik itu-itu saja sehingga otomatis materi ngebanyolnya menjadi luas, bervariatif, serta tidak mudah tertebak dibanding film lucu-lucuan para komika pada umumnya. Keleluasaan si pembuat film dalam melancarkan humor yang tidak sedikit diantaranya berani (tetapi tetap elegan) untuk mengomentari fenomena sosial di sekitar kita dan mengkritisi juga etnisnya sendiri ini pula yang menghindarkan Ngenest sejauh mungkin dari penyakit mematikan suatu film: membosankan.
Mempunyai laju penceritaan yang mengalir lancar, cepat, dan dinamis, Ngenest memang tidak memiliki kesempatan memunculkan rasa jenuh pada penonton. Kita terlalu sibuk dibuat tertawa, lalu gemas, untuk kemudian tersentuh. Ernest Prakasa tidak saja mengakomodir film dengan senda gurau yang nyaris kesemuanya tepat sasaran melainkan juga menyuplai Ngenest menggunakan cukup banyak ‘hati’ yang memungkinkan kita turut merasakan kehangatan pada interaksi Ernest-Meira atau Ernest-Patrick, sekaligus momen-momen manis menghanyutkan di hubungan dua sejoli Ernest-Meira (adegan “jangan pernah kamu tinggalin aku seperti itu lagi” adalah favorit saya!). Sisi emosi ini semakin mencengkram berkat akting kuat dari para pelakonnya seperti Morgan Oey yang membuktikan bahwa karir keaktorannya semakin perlu diperhitungkan, Lala Karmela meniupkan ruh pada karakter Meira yang menghasilkan chemistry jagoan antara dia dengan Ernest, sampai Ernest Prakasa sendiri yang tampil sangat nyaman. Dan oh, jangan lupakan pula cameo dari rekan-rekan sesama komika yang kemunculannya didayagunakan secara maksimal oleh Ernest menyesuaikan gaya ngelawak masing-masing; Ge Pamungkas, Muhadkly Acho, Lolox Ahmad, Arie Kriting, Awwe, Adjis Doaibu plus Fico Fachriza, yang efektif meninggikan level kelucuan Ngenest tanpa pernah mendistraksi plot utama. Sangat, sangat menghibur.
Rating :