Meski fiksional, tapi siapapun pasti setuju jika Sherlock Holmes adalah detektif terhebat sepanjang masa yang kita tahu. Rekaan Sir Arthur Conan Doyle ini sudah berhasil melewati ujian waktu dan bertahan menjadi karakter ikonik dan legendaris, yang seolah-olah abadi. Namun, dalam ‘Mr. Holmes’, ia tetap manusia biasa, yang sebagaimana manusia lainnya, tidak abadi dan sewaktu-waktu bisa berpulang ke haribaan Sang Maha Kuasa.
Namun, sebelum ia menamatkan riwatnya, Mr. Holmes (Ian McKellen) ingin menuntaskan kasus terakhirnya dengan solusi yang lebih memuaskan ketimbang versi fiksi yang ditulis oleh sahabatnya, Dr, Watson. Kasus yang menyebabkan selama 35 tahun terakhir ia menyepi di sebuah pondok di pinggir pantai, ditemani seorang asisten rumah tangga, Mrs. Munro (Laura Linney) dan putranya yang cerdas, Roger (Milo Parker).
Masalahnya ia sudah lupa apa dan bagaimana kasus itu terjadi, mengingat kepikunan yang mulai melandanya. Atas dorongan Roger yang penasaran, Holmes pun mencoba menulis kembali kasus yang melibatkan sepasang suami istri bernama Thomas dan Ann Kelmot (Patrick Kennedy dan Hattie Morahan), yang terjadi selepas Perang Dunia I, melalui ingatannya yang samar-samar.
Sturuktur narasi ‘Mr. Holmes’ pun mengikuti alur daya ingat Holmes, sehingga plot berjalan maju-mundur, berkelindan antara masa lalu dan masa kini. Seolah belum cukup, flashback juga ditambah dengan pertemuan Holmes bersama pengagumnya, Tamiki Umezaki (Hiroyuki Sanada) di Hiroshima pasca Perang Dunia II.
Tiga plot inilah yang dipaparkan sepanjang durasi ‘Mr. Holmes’ dan Bill Condon, sang sutradara, cukup baik dalam menyilangkan satu dengan yang lain tanpa terasa terlalu berjejalan. Timbul sedikit masalah karena satu dari dua plot tersebut tidak sekuat yang lainnya, sehingga agak membuat jomplang. Syukurnya, kemudian mereka menyublim dalam satu klimaks yang cukup memuaskan.
‘Mr. Holmes’ menandakan reuni Condon bersama McKellen setelah ‘Gods and Monsters’ (1998) yang merupakan biografi sutradara James Whale dan mengantarkan McKellen untuk meraih sebuah nominasi Oscar. Uniknya, baik ‘Gods and Monsters’ dan ‘Mr. Holmes’ memiliki kesamaan unsur tematis, yaitu sosok sepuh yang menghabiskan masa pensiun, namun belum benar-benar lepas dari masa lalu mereka.
Hanya saja dalam ‘Mr. Holmes’ McKellen harus menampilkan sisi emosional yang cukup berbeda untuk tiap fase umur yang ditampilkan narasi film. Tidak usah diragukan lagi kemampuan McKellen untuk secara meyakinkan menampilkan karakteristik gestur pria uzur 93 tahun dan saat beberapa dekade lebih muda.
Mengingat ‘Mr. Holmes’ bukanlah sebuah film detektif murni (sebuah harapan yang harus dibuang jauh-jauh sebelum menyimak filmnya), melainkan sebuah drama subtil tentang berdamai dengan masa lalu, sehingga film lebih menekankan pada aspek dramatisasi. “Mr. Holmes’ memiliki beberapa adegan mencorong yang disemai oleh kolaborasi akting yang memukau antara McKellen dengan pendukungnya.
Bukan berarti naskah tulisan Jeffrey Hatcher, yang berdasarkan atas novel “A Slight Trick of the Mind” karya Mitch Cullin, tidak memanfaatkan arketipe cerita misteri di dalamnya. Tetap ada kasus yang harus dipecahkan oleh Holmes, hanya saja condong pada aspek filosofis, dengan sang ingatan menjadi musuh, ketimbang harafiah berhadap-hadapan dengan villain seperti Moriarty misalnya.
Namun, dengan menjadikan Sherlock Holmes sebagai karakter fiksi populer, lengkap dengan adegan Holmes menyaksikan film adaptasi bukunya, ‘Mr. Holmes’ pun tidak melewatkan diri untuk melekatkan sisi meta di dalamnya secara menggelitik.
Di tengah trend untuk menghadirkan Sherlock Holmes dalam tataran pascamodernisme, ‘Mr; Holmes’ adalah tambahan yang menyenangkan. Kita bisa melihat jika Holmes versi Benedict Cumberbatch atau Jonny Lee Miller akan menua layaknya versi McKellen (walau mungkin premis yang sama tidak berlaku untuk versi Robert Downey Jr.).
Rating :