Seusai menyaksikan ‘The Crossing 2‘, maka keyakinan sebaiknya film epik percintaan berbumbu bencana ala John Woo ini memang sebaiknya digabungkan menjadi satu saja, semakin terbukti. Apalagi lebih dari setengah jam durasi awal ‘The Crossing 2’ justru diisi dengan semacam recap dari film pertamanya.
Dengan sisa durasi efektif sekitar 1.5 jam, ‘The Crossing 2’ menjadi terasa lebih padat ketimbang bagian pertamanya yang terasa bertele-tele dan mengulur-ulur waktu. Bagian kedua ini juga memberi sedikit ruang untuk perkembangan karakter-karakternya, meski tidak juga mempertajam karakterisasi sebagian dari mereka juga.
Secara umum ‘The Crossing 2’ masih ingin memberi komentar sejarah Tiongkok dan Taiwan sebelum peristiwa tenggelamnya kapal Taiping di tahun 1949, selain kisah romansa tiga pasangan, Lei Yifang (Huang Xiaoming) dan Zhou Yunfen (Song Hye-kyo), Yu Zhen (Zhang Ziyi) dan Tong Daqing (Tong Dawei), serta Yan Zenkun (Takeshi Kaneshiro) dan Masako Shimura (Masami Nagasawa), yang terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda.
Tidak semua berakhir bahagia tentu saja, karena tragedi menanti di ujung cerita. Sayangnya, jika Woo mengincar haru biru ala “Titanic”, rasanya masih jauh panggang dari api. Satu-satunya yang menggugah secara aspek emosional adalah kisah Yu Zhen dan Daqing, yang mungkin juga karena baik Ziyi dan Dawei memberikan akting yang meyakinkan untuk memberi kesan kuat pada karakter mereka.
Kaneshiro dan Nagasawa malah terasa lebih datar lagi ketimbang film pertamanya, yang setidaknya masih memercikan bara sentimentalia dalam pergerakan kisah mereka. Begitu pula dengan karakter yang diperankan oleh Xiaoming dan Hye-kyo.
Masalah mungkin karena naskah terlalu berambisi ingin menjadi epik ketimbang memfokuskan pada romansa saja. Hanya saja, aspek historis, sosial dan politis tampil hanya di permukaan, akibat terlalu banyaknya materi yang ingin disampaikan. Akibat terlalu berjejalan materi tadi, praktis adegan bencana tenggelam kapal Taiping yang seharusnya menjadi episentris film, tidak memberi kesan berlebih. Cenderung digarap dengan unsur praktikal dan aksi ketimbang membangun sisi drama humanis.
Pada akhirnya penyampaian klimaks film menjadi terasa tergesa atau terburu-buru. Setelah penantian panjang atas kelindan drama yang bergerak perlahan, film ditutup dengan “begitu saja”.
Terlepas dari itu, ‘The Crossing 2’ masih cukup renyah untuk diikuti. Kurang rapinya editing memang masih tersisa, namun tidak lagi terasa menganggu, mengingat tempo yang bergerak lebih cepat, setidaknya setelah porsi “recap” di awal film selesai.
‘The Crossing 1 & 2’ menjadi bukti jika John Woo sebenarnya masih bisa diandalkan dalam mengeksekusi adegan aksi, namun tampaknya ia masih harus bisa untuk menahan diri jika ingin membangun dramaturgi yang lebih tepat guna.
Rating :