Saat mendengar Steven Spielberg lagi-lagi akan menggarap film berdasarkan kisah nyata, sebenarnya agak sulit untuk menghindari kernyitan di dahi. ‘Lincoln’ (2012) adalah film yang kuat dari segi teknis produksi, namun melelahkan dari segi tutur cerita. Film sebelumnya, ‘War Horse’, bahkan memiliki kualitas semenjana dengan kadar klise yang mengkuatirkan. ‘Bridge of Spies‘ kemudian mematahkan segala keragu-raguan, sebab Spielberg kembali dalam performa kelas wahidnya.
Berseting tahun 1957, dimana Perang Dingin tengah gencar-gencarnya berlangsung, seorang pengacara asuransi bernama James B. Donovan (Tom Hanks) diminta untuk membela seorang tertuduh mata-mata KGB bernama Rudolf Abel (Mark Rylance). Meski semua pihak menginginkan Donovan hanya melakukan tugas secara basa-basi dan formalitas saja, ternyata ia menjalankan teguh tugasnya tersebut, sehingga berhasil menyelamatkan Abel dari hukuman mati, meski mendapat kecaman keras dari publik.
Terbukti kemudian Abel hidup bisa lebih bermanfaat daripada sebaliknya, saat kemudian seorang pilot muda asal Amerika, Francis Gary Powers (Austin Stowell) tertangkap oleh Uni Sovyet. Pemerintah kemudian meminta Donovan menjadi negosiator untuk pertukaran tawanan ini. Masalah menjadi pelik saat seorang mahasiswa asal Amerika tertangkap di Berlin Timur dengan tuduhan mata-mata. Donovan bersikukuh untuk tidak hanya menyelamatkan satu, tapi dua warga Amerika Serikat sekaligus.
‘Bridge of Spies’ masih berbicara tentang patriotisme. Hanya saja, alih-alih mengusung konsep utopis, Spielberg justru memilih pendekatan membumi dan realistis. Dalam dunia yang dibatasi oleh konsep hitam dan putih, ‘Bridge of Spies’ mengapungkan ide tentang area abu-abu. Sosok dengan stigma negatif belum tentu seperti dibayangkan. Ia juga manusia biasa dengan integritas, serta tentunya akal budi.
Menariknya lagi, kandungan makna filosofis ‘Bridge of Spies’ tidak terasa dramatis berlebihan, melainkan menyublim mulus dalam alur ceritanya tanpa harus terjebak dalam perangkap pesan moral pretensius. ‘Bridge of Spies’ memang kaya oleh bahasa verbal. Durasi 141 menit nyaris diisi oleh dialog melulu, namun film tak terlupa bahasa visual kaya pula, termasuk bermain-main dengan simbol serta pemaknaan.
Speilberg pun tangkas menghadirkan atmosfir kelam dalam dimensi ketegangan yang mengendap-endap. Tidak terlihat jelas, tapi bisa dirasakan kehadirannya. Adegan pembuka film dihadirkan melalui dinamisasi renyah yang mencuri perhatian oleh Spielberg, dibantu oleh gerak kamera lincah milik Janusz KamiĆski. Tidak hanya bertugas sebagai perkenalan karakter, melainkan juga tone film selanjutnya.
Memang, setelahnya film terasa familiar dengan kinerja Spielberg selama ini. Syukurnya, Spielberg menahan diri untuk tidak tampil serius berlebihan. Meski gelap, film tidak kehilangan semangat bermain-main. Serangkaian adegan diisi dialog cerdas menggelitik, sehingga membuat film tetap terasa fun di tengah segala keseriusannya. Kehadiran duo Ethan dan Joel Coen, yang bertugas menulis naskah bersama Matt Charman, sudah pasti memberi gravitasi semacam ini ke dalam film.
Selain Spielberg, juga harus mendapat pujian berlebih tentunya adalah Tom Hanks. Ia bisa diandalkan dalam memberikan kelekatan untuk karakternya, sementara tetap membiaskan kharisma yang mengikat kuat terhadap penonton. Ia menggerakkan alur ‘Bridge of Spies’ melalui artikulasi emosi solid.
Sebagai film “mata-mata”, plot memang tidak terlalu berliku-liku atau penuh kejutan di setiap tikungan. Tapi, sebagai drama, jelas ia memiliki kedalaman tersendiri. Memiliki dimensi luas pula, tanpa harus terjebak dalam arketipe keunggulan Amerika sebagai polisi dunia. Pastinya ‘Bridge of Spies’ mengembalikan sentimentalia akan film bertema Perang Dingin yang menggelitik dan bernas.
Rating :