Ada dua kesamaan yang ‘menyatukan’ Black Mass dengan Everest selain fakta bahwa keduanya rilis berbarengan akhir pekan lalu: pertama, pemeriah suasana terdiri atas jajaran bintang-bintang ternama, dan kedua, tuturannya diolah dari peristiwa nyata menggetarkan. Di atas kertas, dua film tersebut dibekali amunisi mencukupi untuk menciptakan sebuah tontonan yang sulit dienyahkan dari benak hingga beberapa tahun mendatang. Akan tetapi, kenyataan di lapangan berkehendak lain saat Black Mass dan Everest berpisah jalan untuk menjalani takdirnya masing-masing. Keduanya terpisahkan oleh satu hal: rasa. SementaraEverest dengan segala riasannya yang tampak mentereng cenderung hambar secara emosi, maka Black Mass yang tampilan luarnya kurang menggugah selera untuk disantap justru mempunyai cita rasa yang sungguh lezat. Ya, Black Mass memang tidak menawarkan pembaharuan terhadap khasanah film-film bertema gangster, tetapi film arahan Scott Cooper ini sanggup menghidangkan salah satu parade akting terunggul dari ensemble casttahun ini dan jalinan pengisahan dengan intensitas emosi yang dalam.
Didasarkan pada buku bertajuk Black Mass: The True Story of an Unholy Alliance Between the FBI and the Irish Mob karya Dick Lehr dan Gerard O’Neill, Black Mass fokus ke sepak terjang James ‘Whitey’ Bulger (Johnny Depp), seorang kriminal yang memimpin geng bernama Winter Hill di Boston bagian selatan. Pada mulanya, sekitar tahun 1975, Bulger hanyalah penjahat kelas teri yang posisinya terancam oleh keberadaan mafia Italia yang kekuasaannya semakin menggurita. Kehidupan Bulger sontak berubah tatkala seorang agen FBI John Connolly (Joel Edgerton) yang belakangan diketahui merupakan teman masa kecil Bulger menawarinya kerja sama untuk memberangus mafia Italia. Bulger diminta menjadi informan bagi FBI guna memberi segala informasi terkait keberadaan Angiulo bersaudara yang susah dilacak dengan imbalan berupa kekebalan hukum, kecuali Bulger melakukan tindak kriminal dan pembunuhan. Melihat celah yang memungkinkan baginya untuk mengembangkan bisnis kotornya dengan bantuan tak langsung dari FBI, Bulger pun menyepakati perjanjian. Berkat status informan FBI yang disandangnya inilah Bulger berhasil menjelma sebagai gembong penjahat terkuat di Boston.
Seusai melewati tahun-tahun suram bagi karir keaktorannya – sampai-sampai membuat para penggemar beratnya ketar ketir dengan masa depan sang idola di Hollywood – Johnny Depp tampaknya telah kembali ke jalan yang benar lewat Black Mass. Mendengar Johnny Depp yang terbiasa memerankan karakter aneh, melankolis, serta lincah, diminta untuk menghidupkan tokoh kriminal nyata dengan jejak rekam tidak main-main memang seperti lelucon belaka, tapi sikap skeptismu akan berbalik 180 derajat saat menyaksikan apa yang bisa diperbuat oleh seorang Depp di Black Mass. Terbantu kinerja luar biasa departemen make-up yang memberi kesan menyeramkan di balik wajah tampannya – kepala setengah botak, hidung lancip, mata biru berbinar, dan gigi kotor tak rata – penonton tidak lagi melihat sosok Depp di layar, atau malah versi lain dari Jack Sparrow, melainkan semata-mata James ‘Whitey’ Bulger. Interpretasinya terhadap “salah satu buronan paling dicari di muka bumi” ini layak memperoleh acungan dua jempol. Brilian. Tanpa perlu melihat aksi kejinya dan hanya sekadar melihat tatapan matanya yang memancarkan aura kebengisan atau nada bicaranya yang mengintimidasi, nyali dapat seketika menciut. Meneror.
Lihat bagaimana dia mengubah meja makan menjadi tempat paling menyeramkan hanya karena topik pembicaraan seputar resep masakan. Momen terseram dalam film yang memaksa penonton menahan nafas sekaligus memunculkan sensasi bergidik ngeri ini diprakarsai akting gemilang si aktor bunglon. Menariknya, Depp tidak hanya menekankan kekejian sosok Bulger, melainkan turut mencuatkan sisi manusiawinya yang tampak dari kasihnya pada sang buah hati, baktinya pada sang ibu, dan bangganya pada sang adik yang menjabat sebagai senator, William Bulger (Benedict Cumberbatch), sehingga masih ada tersisa simpati dari penonton untuknya di sela-sela ketakutan dan kebencian. Phew. Depp pun bukan satu-satunya bintang yang mempertontonkan kemahiran dalam berolah peran diBlack Mass karena setiap pemain – termasuk mereka dengan karakter tak signifikan sekalipun – menunjukkan performa kuat pula bernyawa yang akan memuaskan dahaga siapapun pemuja akting hebat. Paling menonjol diantara kerumunan ini yakni Joel Edgerton sebagai agen FBI oportunis dan ambisius yang memuluskan jalan Bulger menuju puncak. Di tangan Edgerton, ada transformasi karakteristik meyakinkan pada John Connolly dari berjiwa pahlawan menjadi polisi korup menjengkelkan hingga akhirnya kita dibuat iba ketika dia menyadari kekacauan yang dibuatnya karena telah melepaskan sesosok monster.
Pun begitu, dahsyatnya permainan lakon bukanlah aset berharga tunggal bagi Black Masskarena film berdurasi 122 menit ini masih mempunyai sinematografi elegan dari Masanobu Takayanagi yang sanggup memunculkan kesan muram, dingin serta mencekam di setiap sudut kota Boston yang meninggalkan rasa tidak nyaman serta skrip lezat bergizi tinggi gubahan Jez Butterworth dan Mark Mallouk yang ditingkahi pengarahan menawan Scott Cooper (Crazy Heart, Out of the Furnace). Yummy! Sekalipun tuturan Black Mass mengalun cenderung perlahan, film tak pernah sekalipun terasa membosankan malah kian menunjukkan tajinya dari menit ke menit yang ditunjang keingintahuan besar pada pertanyaan-pertanyaan semacam “apakah Bulger akan menepati kesepakatannya dengan FBI? Jika tidak, seperti apa dampak dari perbuatannya ke orang-orang di sekitarnya? Adakah yang bisa menghentikan langkahnya? Lalu, bagaimana cara Connolly membersihkan nama baiknya yang kadung tercoreng?” sekaligus emosi menggelegak perpaduan antara takut, iba, marah, gemas dan terperangah. Ya, Cooper yang menampilkanBlack Mass dengan kekerasan bermode sedang mendekati tinggi (oh ya, ada banyak darah disini) bisa dikata berhasil menjerat penonton untuk tetap menikmati hidangan hingga tuntas yang memunculkan kepuasan di ujung. Black Mass adalah perwujudan nyata air tenang menghanyutkan.
Rating :