Ini bukan kali pertama film Korea mengadaptasi cerita dongeng Jerman, karena sebelum “The Piper” yang disutradarai oleh Kim Gwang-Tae, Yim Pil-Sung sudah lebih dulu menggarap “Henjel gwa Geuretel” (Hansel and Gretel) di tahun 2007. “The Piper” yang terinspirasi dari kisah Pied Piper of Hamelin, nantinya bercerita tentang Woo-Ryong (Ryoo Seung-Ryong) yang membawa putranya Young-Nam (Goo Seung-Hyun) berkelana ke Seoul, untuk tujuan mengobati sakit tuberculosis yang lama diderita anaknya. Dikala menelusuri daerah pegunungan, Woo-Ryong tanpa sengaja menemukan jalan setapak menuju sebuah perkampungan yang tak saja letaknya terpencil, tapi juga dihuni para tikus. Sudah sejak lama warga desa diganggu oleh kehadiran tikus-tikus yang tampaknya bukan saja menghabiskan jatah makanan, tapi juga tak segan-segan menggerogoti kuping anak-anak kecil. Beruntunglah Woo-Ryong memiliki semacam keahlian khusus bermain seruling, bunyi yang keluar dari serulingnya ternyata bisa mengusir ribuan tikus dari desa tersebut. Desa sudah bersih dari wabah tikus dan semua tampaknya bakal baik-baik saja, tapi mimpi buruk bagi Woo-Ryong sebetulnya baru saja dimulai.
Walaupun plot utama “The Piper” meminjam dari dongeng Pied Piper of Hamelin, Kim Dong-Woo yang bertanggung jawab pada penulisan naskah sepertinya tahu benar bagaimana mengembangkan tulisannya, tidak hanya tetap menarik untuk mereka yang sudah pernah membaca kisah aslinya, tapi juga meleburnya dengan elemen-elemen yang bercirikan Korea, terutama pemakaian formula: bersenang-senang dahulu, lalu bersedih-sedih kemudian. Meskipun “The Piper” mengusung tema horor berselimutkan fantasi, Kim Gwang-Tae tampaknya memang tak mau tergesa-gesa dalam mengesekusi sekaligus menterjemahkan naskah buatan Kim Dong-Woo, makanya dia mencemplungkan banyak drama ke dalam “The Piper”. Lewat drama inilah Kim mencoba menggali lebih dalam hubungan Bapak-anak, dengan memperlihatkan berbagai momen bersenang-senang antara Woo-Ryong dan Young-Nam, termasuk ketika mereka berdua tampil menghibur warga desa, Woo-Ryong bermain seruling dan Young-Nam asyik memainkan biolanya. Paruh awal “The Piper” benar-benar dimanfaatkan oleh Kim untuk menumpuk simpati dan kepedulian penonton, Woo-Ryong dan Young-Nam pun diperlihatkan begitu kompak dan saling sayang, akan sangat menyedihkan jika mereka dipisahkan.
Segala suguhan drama di “The Piper”, termasuk bagian yang menceritakan kisah romansa Woo-Ryong yang jatuh hati pada dukun setempat, sebetulnya hanyalah trik untuk menyembunyikan udang di balik batu. Tanpa penjelasan yang panjang lebar pun kita tahu ada yang tidak beres dengan desa tanpa nama tersebut, tapi Kim (sayangnya) ingin kita menunggu lebih lama. Untuk mereka yang penyabar, alur penceritaan “The Piper” mungkin akan lebih mudah dinikmati, tapi akan jadi berbeda bagi mereka yang cepat bosan, “The Piper” akan jadi sebuah tantangan tersendiri. Satu jam pertama betul-betul dimanfaatkan Kim untuk mengenalkan karakter-karakternya, tidak hanya berinteraksi dengan Woo-Ryong dan Young-Nam, tapi juga mengajak kita untuk kenal lebih dekat dengan orang-orang desa, termasuk si kepala desa yang serba misterius itu. Melewati separuh perjalanan “The Piper” memang saya akui butuh kesabaran ekstra, tapi jangan menganggap apa yang dilakukan Kim adalah sebuah siksaan, anggap saja kita sedang mendaki gunung, memang terasa melelahkan tapi setimpal begitu kita sampai di puncak.
Ketika Kim sudah merasa cukup menjejalkan kita dengan drama, mengajak kita bersenang-senang, memperkenalkan seisi desa, mempertontonkan romansa, dan memberikan kita pemandangan cukup disturbing. Di paruh terakhir, kita seperti melihat sebuah film yang totally berbeda, selain tensi horor di “The Piper” yang mulai ditinggikan, atmosfir yang awalnya terkesan cerah berubah kelam. Sekilas saya seperti diingatkan dengan “Bedevilled”, dan jika sudah berbicara film balas dendam, saya tak perlu meragukan Korea soal kebengisannya. “The Piper” tidak saja mengeksploitasi bagian “bersedih-sedih kemudian”, tapi juga dengan biadab menambahkan adegan-adegan yang membuat hati nurani perih bukan main. Kim memanen apa yang ia tanamkan pada penontonnya di awal, kepedulian dan rasa simpati kita pada Woo-Ryong dan Young-Nam sekarang benar-benar diuji. Tidak ada lagi ajakan untuk bersenang-senang, kali ini Kim langsung menyeret-nyeret penontonnya untuk merasakan kepedihan. Tak ada lagi manis di 40 menit akhir “The Piper”, gambar-gambar manis seakan luntur berganti pemandangan pahit yang mengoyak-ngoyak emosi tiada ampun. Jika saja “The Piper” memberi lebih banyak durasi untuk horornya, aksi balas dendamnya pasti lebih mengasyikkan.
Rating :