Sebagai seseorang yang menggemari karya-karya Adam Sandler sebelum era Jack & Jill (I know, I am in the minority here), mendengar kabar sang komedian mengambil peran di sebuah film berpremis unik “bagaimana jadinya jika bumi diserang oleh alien berbentuk karakter dari permainan dingdong (arcade games)?” yang materinya dijumput dari film pendek memikat rekaan Patrick Jean merupakan kebahagiaan tersendiri. Ada harapan mengapung Adam Sandler akan bangkit dari keterpurukan terlebih film bertajuk Pixels ini dikomandoi Chris Columbus (dua jilid pertama Harry Potter dan Home Alone) yang telah terbukti memiliki jam terbang tinggi di area fantasi keluarga serta diciptakan sebagai surat cinta bagi budaya populer era 1980’an yang menjadi zona kekuasaan Sandler. Selain itu, nostalgia ke video game lawas di Wreck-It Ralph tiga tahun silam juga membuahkan segudang puja-puji, jadi apa yang bisa salah dari ini? Jawabannya hanya ada satu: ketidakpekaan Adam Sandler yang masih kekeuh bertahan di zona nyamannya.
Mengubur dalam-dalam mimpinya untuk berkecimpung secara profesional di dunia video game usai kekalahan menyakitkan yang diterimanya dalam kejuaran dunia arcade games di tahun 1982, Sam Brenner (Adam Sandler) yang kini menjalani profesi sebagai petugas instalasi alat elektronik harus kembali berhadapan dengan masa lalunya setelah sahabat karibnya, Will Cooper (Kevin James), yang juga orang nomor satu di Amerika Serikat memberinya kepercayaan untuk terjun ke medan perang. Bukan peperangan biasa, tentu saja, karena lawan yang dihadapi oleh penduduk bumi adalah sekumpulan karakter game ikonis yang dikenal Sam sangat baik hanya saja sekali ini Pac-Man is a bad guy. Mengingat keselamatan planet ini menjadi taruhannya, maka Sam tidak memerangi Pac-Man dan konco-konco sendirian. Dia memperoleh bala bantuan dari Kolonel Violet van Patten (Michelle Monaghan) yang memiliki love-hate relationship dengan Sam, seorang kawan lama yang jenius Ludlow (Josh Gad), dan musuh bebuyutan Sam dari kejuaraan, Eddie Plant (Peter Dinklage).
Memperoleh respon dingin dari para penonton semenjak Jack & Jill, Pixels yang memiliki modal cerita menarik seharusnya menjadi momen sempurna bagi Adam Sandler untuk meninjau ulang karir keaktorannya lalu membenahinya. Perolehan dollar telah berkata, masyarakat telah mulai jenuh dengan gaya berkelakar Sandler yang seolah jalan di tempat tanpa inovasi berarti sedari dua dasawarsa silam. Menggandeng Tim Herlihy, penulis skrip langganan Sandler, untuk membidani penceritaan Pixels, tampak jelas aktor jebolanSaturday Night Live ini masih berusaha keras ‘to make it happen’. Lihat saja pola penceritaan pada Pixels yang masih berkutat pada seorang pecundang tanpa harapan yang jatuh cinta pada perempuan cantik, lantas tiba-tiba ada satu peristiwa penting yang menjadi titik balik bagi kehidupannya, dan pada akhirnya... happily ever after! Ya, sekalipun ditangani oleh Chris Columbus, Pixels masih melantunkan kisahnya seperti film-film Sandler terdahulu hanya saja sekali ini sudah terasa melelahkan, usang, dan kadar kelucuannya jauh berkurang – meski well, saya masih menyukai humornya yang sarat referensi ke budaya populer.
Dengan interaksi tanpa rasa antar para pelakonnya – sayang sekali Peter Dinklage (Game of Thrones) dan Josh Gad (hey, dia Olaf dari Frozen!) gagal bersinar – maka Pixels terancam berakhir seperti halnya beberapa film terakhir Sandler yang cenderung mudah dilupakan, kecuali... film ini masih menjadi nostalgia ke video game masa kecil yang mengasyikkan. Walau memang tingkat kesenangannya tidak mencapai tahapan seperti pertama kali menengok versi film pendeknya, tapi melihat Pac-Man yang menjadi jahat menggila di New York (bahkan tak segan-segan melukai kreatornya!), pasukan militer memberondong tembakan ke arah Centipede yang meliuk-liuk ganas di atas Hyde Park, bangunan apartemen dihancurkan oleh Tetris, Taj Mahal diporakporandakan Arkanoid dalam salah satu momen terlucu pada film, hingga momen puncak yang melibatkan Donkey Konglengkap dengan tong andalannya menggelinding cepat, sulit dipungkiri membangkitkan jiwa anak kecil pada diri yang bersemangat menyaksikan karakter-karakter game idola beraksi. Kapan lagi coba bisa melihat kehebohan reuni dari permainan 8 bit di layar lebar?