Memajang nama James Wan ternyata tidak menjamin “Demonic” bakalan seperti apa yang saya bayangkan. Untuk film yang punya judul menakutkan, saya justru tidak menemukan ketakutan di “Demonic”. Dengan cerita yang lagi-lagi berfokus pada elemen rumah berhantu, ritual manggil setan dan anak-anak muda bodoh, film yang disutradarai oleh Will Canon ini memang nampak tidak menawarkan sesuatu yang baru. Menghiraukan nama James Wan yang duduk di kursi “empuk” produser, alasan saya untuk tetap menonton “Demonic” murni karena didorong rasa penasaran, sama seperti John (Dustin Milligan) dan geng pemburu hantunya yang mampir ke sebuah rumah angker, untuk membuktikan rasa penasaran akan adanya alam gaib. Dengan peralatan lengkap dan canggih, termasuk kamera yang nantinya akan disebar di tiap sudut rumah, John dan teman-temannya berharap bisa menangkap tak hanya segala aktivitas supranatural di rumah tersebut tetapi juga merekam penampakan penghuninya. John dan teman-temannya sebetulnya sudah melakukan kesalahan fatal, ketika membongkar kunci gembok dan masuk ke rumah yang dulunya pernah jadi TKP pembunuhan. Tak menyadari kesalahan mereka dan resikonya, John dan teman-temannya malah makin goblok mencoba bermain dengan ritual yang ujung-ujungnya mengancam nyawa mereka.
“Demonic” sebetulnya punya potensi yang menjanjikan, rumah dengan masa lalu menyeramkan seharusnya bisa dimanfaatkan film ini untuk membangun nuansa menakutkan. Tapi usaha untuk menghadirkan rasa takut sekaligus menciptakan atmosfir mencekam dari dalam rumah, terusik oleh keputusan Will Canon untuk menceritakan filmnya dengan alur maju-mundur. Aksi perburuan hantu nantinya harus bercampur dengan penyelidikan Detektif Mark Lewis (Frank Grillo), yang menemukan John terbaring tak sadarkan diri dengan kepala terluka, sedangkan tiga temannya tewas mengenaskan dan dua lagi menghilang. Selagi Pak Detektif diperlihatkan sibuk mencari tersangka pembunuhan, kita juga akan dilempar ke bagian yang mempertontonkan “apa yang sebetulnya terjadi di rumah tersebut”, lewat cerita John yang sedang diinterogasi Elizabeth Klein (Maria Bello). Kedua bagian, penyelidikan Mark dan misteri rumah hantu, mempunyai peranan yang sama pentingnya di paruh pertama film, saling mendukung untuk membuat saya tak hanya dikepung oleh rasa penasaran tetapi juga ketakutan. “Demonic” tentu saja maunya seperti itu, kita takut dan penasaran, sayangnya ketika durasi makin habis, saya tak pernah merasa benar-benar ditakuti oleh film ini. Setidaknya film ini masih menyisakan rasa penasaran, alasan yang membuat saya bertahan hingga “Demonic” menyelesaikan kebodohannya.
Ketimbang dibilang horor yang seram, “Demonic” lebih cenderung menegangkan dengan segala tetek-bengek penyelidikan, dan upaya pengungkapan siapa dalang dibalik pembunuhan teman-teman John. Aksi Frank Grillo dan Maria Bello harus diakui mampu menyelamatkan film ini, setidaknya lebih menghibur dari melihat anak-anak remaja bodoh yang berkeliaran nenteng-nenteng kamera. Rasa cekam yang kurang terasa nantinya akan banyak tergantikan oleh rasa tegang, kita bisa ikut merasakan stress melihat Frank Grillo bulak-balik kesana-kemari tunjuk sini dan tunjuk sana agar pelaku cepat tertangkap. Bagian yang memperlihatkan apa yang sebenarnya terjadi di rumah (menurut perspektif John), tidak hanya kurang maksimal dalam menghadirkan suasana horor yang mengasyikkan, tapi memang tidak punya waktu yang cukup untuk membangun atmosfir cekam, atau sekedar diberi kesempatan untuk benar-benar menakut-nakuti penontonnya. Durasinya, sekali lagi (terpaksa) harus berbagi porsi dengan aksi detektif-detektifan Frank Grillo, oleh karena waktu yang disediakan pun sedikit, maka “Demonic” pun pilih cara gampang memakai jump scare saja. Praktis hanya tinggal tongolin hantunya di depan kamera secara tiba-tiba, ditambah ekstra scoring yang mengejutkan dan bantuan pemainnya yang berteriak kencang.
“Demonic” untungnya masih tahu diri dalam memunculkan jump scare-nya yang memang tidak terlalu banyak, diantaranya ada satu yang cukup efektif bikin saya kaget. Sayangnya segala usaha Will Canon untuk membuat kaget ataupun takut, pada akhirnya akan cepat dilupakan begitu end-credits menggulung. Resiko yang kemudian mesti ditanggung oleh “Demonic” karena sudah memilih jalan pintas, pakai cara instan dan praktis untuk menakuti, efek yang dihasilkan pun tak lama, seperti saat lapar lalu makan mie instant, kenyang sebentar. Nasi sudah telanjur jadi bubur, “Demonic” menyia-nyiakan kesempatannya untuk menakuti di paruh pertamanya, niatnya untuk membuat saya takut memang setengah-setengah, itu makin terlihat di paruh kedua, ketika saya lebih banyak melihat tampang Frank Grillo yang kusut ketimbang anak-anak yang menjerit-jerit dikejar setan. Bagian “perburuan hantu berujung malapetaka” pun makin dikurangi, harus puas hanya melihat gambar-gambar kurang jelas dari rekaman-rekaman yang rusak. Sialan, niat busuk “Demonic” baru tercium ketika film mencapai paruh akhirnya, film ini memang sejak awal tidak punya niat untuk menakuti sama sekali, twist-nya yang keparat itu pun jadi percuma saja, toh “Demonic” hanya akan jadi film yang terlupakan.
Rating :