Apa jadinya jika cewek berdarah batak dipaksa pacaran dengan cowok tak punya marga, alias bukan batak tapi berasal dari Jawa Barat, orang Sunda? Pertanyaan inilah yang nantinya coba dijawab oleh ‘Lamaran’, tapi karena statusnya komedi, jangan dulu berharap kita akan mendapatkan jawaban yang serius. Monty Tiwa, yang namanya sudah melekat dengan film-film komedi romantis, dipercaya oleh Rapi Films untuk menggarap ketidakseriusan di ‘Lamaran’, berharap setidaknya film ini bakal menghasilkan kualitas kelucuan yang sama baiknya dengan karya Monty sebelumnya, ‘Test Pack: You Are My Baby’(2012). Di ‘Lamaran’ Monty tak hanya akan dipertemukan lagi dengan Acha Septriasa, tapi juga dipasangkan lagi dengan penulis ‘40 Hari Bangkitnya Pocong’, Cassandra Massardi, yang terakhir kali pernah bekerjasama dengan Monty Tiwa di ‘Get Married 3’ pada tahun 2011. Hadir juga Mak Gondut, yang lagi-lagi memerankan sosok Ibu yang suka jodoh-jodohkan anaknya, sama seperti di ‘Demi Ucok’. Melihat premisnya, ‘Lamaran’ ini memang tampak menjanjikan, ditambah pula dengan deretan pemainnya, disana ada Acha dan Mak Gondut, sekarang semua tergantung Monty, apakah dia akan mempertontonkan film komedi yang lucunya setengah matang atau yang sukses membuat saya terbahak-bahak, seperti di ‘Test Pack: You Are My Baby’.
Saya sebetulnya sempat dibuat ragu oleh ‘Lamaran’, butuh waktu sebentar untuk beradaptasi dengan sajian komedi yang ingin disodorkan oleh Monty, jika boleh jujur, 30 menit sejak saya melihat Mongol main tembak-tembakan dan kemudian berlanjut dengan plot agen mata-mata yang coba merekrut Tiar (Acha Septriasa), untuk membongkar sebuah kasus besar, saya sama sekali belum “konek” dimana lucunya ‘Lamaran’. Saya merasa ‘Lamaran’ terlalu punya banyak ide yang justru malah membebani penceritaannya, alih-alih kelihatan sederhana, paruh pertama film ini begitu ingin terlihat kompleks dengan berbagai tempelan ini dan itu, yah mulai dari percobaan pembunuhan, kasus korupsi dan intrik politik. Tapi bukan berarti saya langsung memalingkan wajah lalu tak peduli dengan ‘Lamaran’, saya masih punya kesabaran dan membiarkan Monty Tiwa bekerja, melihat apa yang dia inginkan dengan film komedi-romantisnya. Sambil mengamati satu-persatu karakternya yang diperkenalkan ala-kadarnya, termasuk juga dengan Tiar serta pacar bohong-bohongannya, Aan (Reza Nangin) yang super-polos. Untungnya di sela-sela proses adaptasi saya, hadir Mak Gondut yang sesekali mampu menjadi pelipur lara, dikala saya masih mencari-cari dimana letak kelucuan ‘Lamaran’.
Paruh pertama ‘Lamaran’ membuat saya penuh kegalauan, penuh keragu-raguan karena saya belum bisa menemukan lucunya film ini tuh dimana. Pada akhirnya membuat pikiran saya terbebani bayangan terburuk kalau saya tidak akan suka dengan ‘Lamaran’. Anyway, aksi Arie Kriting dan Sacha Stevenson bermain agen mata-mata pun makin memperbesar rasa ragu saya, walaupun untungnya belum sampai ke tingkatan karakter yang mengganggu. Di tengah keraguan yang waktu itu sedang berkecamuk, pikiran yang bercampur tak menentu, antara ingin terus lanjut atau keluar dari bioskop, saya tiba-tiba ingat pesan guru agama sewaktu di SD dulu, jika sedang ragu coba mengadu pada Tuhan, berdoa minta supaya diberi petunjuk arah yang benar. Saya melakukan itu, mengangkat kedua tangan tidak terlalu tinggi dan berdoa dalam hati, saya juga tidak mau mengganggu penonton lain yang sedang khusu nontonnya—saya sedang tidak bercanda, saya berdoa itu benar-benar true story. Berkah bulan puasa, doa saya manjur dan cepat terkabul, ‘Lamaran’ yang diawal tampak meragukan, kemudian lambat laun mulai terlihat lucu, setidaknya film ini sudah sanggup memecah kebisuan saya selama setengah jam lebih, dan merubahnya jadi tawa-tawa kecil yang renyah yang keluar dari mulut saya.
Walaupun tidak semua adegan-adegan komedi di ‘Lamaran’ berhasil menggelitik saya untuk pada akhirnya tertawa dengan ikhlas, beberapa tawa yang muncul di paruh kedua adalah bukti jika saya masih bisa terhibur oleh apa yang dikerjakan oleh Monty Tiwa. Bisa membuat saya tertawa saja sudah merupakan pencapaian yang luar biasa untuk film ini, karena saya orang yang lebih mudah diajak takut, ketimbang dipaksa-paksa untuk tertawa. Jadi terima kasih untuk ‘Lamaran’ yang setidaknya sudah berusaha keras dan pantang menyerah dalam usahanya untuk membuat saya hahaha dan hihihi. ‘Lamaran’ beruntung punya Mak Gondut yang selalu sanggup menghadirkan tawa dengan lawakan yang terkesan tidak dibuat-buat, kala sebagian lawakan di film ini kadang memang dirasa tak cocok dengan selera humor saya. Begitupula dengan Acha Septriasa yang sekali lagi tak hanya memperlihatkan dia mampu tampilkan kualitas akting yang hebat, tapi bisa juga tampil kocak di beberapa adegan. Sayangnya, kali ini saya merasa chemistry-nya dengan Reza Nangin kurang digali lebih dalam, oleh karena itu bagian romantis pun agak terasa hambar. Well, kehambaran tersebut untungnya masih bisa saya hiraukan, toh ‘Lamaran’ tetap mampu membuat saya tertawa dan terhibur. Tak istimewa tapi tetap bisa dikatakan film komedi romantis yang cukup menyenangkan, apalagi melihat Mak Gondut yang kocak sekali.
Rating :