Saya masih ingat ketika untuk pertama kalinya menonton “Paranormal Activity”, kalau tidak salah di INAFFF 2009, film arahan Oren Peli ini tidak hanya sodorkan sesuatu yang berbeda ke hadapan muka saya, tapi juga memberikan pengalaman yang begitu mengasyikkan, mungkin jadi salah-satu pengalaman terbaik saya di bioskop. Pada saat horor found footage belum begitu banyak seperti sekarang ini, apa yang dipresentasikan oleh “Paranormal Activity” tentu saja jadi magnet kuat, bisa dibilang “barang baru” yang membuat saya dan banyak penggemar horor di luar sana terpikat. Walaupun gaya found footage atau mokumenter sendiri sudah pernah dipakai sebelumnya oleh Eduardo Sánchez dan Daniel Myrick untuk“The Blair Witch Project” (1999) dan digunakan lagi oleh Koji Shiraishi dalam “Noroi” (2005). “Paranormal Activity” pun sukses bukan main, terlepas dari promosinya yang gencar baik itu dari mulut ke mulut danviral marketing-nya, saya akui film ini memang tahu bagaimana membuat film horor berskala kecil tapi berdampak besar dalam urusannya menakuti penonton. Semenjak itu, found footage muncul dimana-mana, menjamur dan banyak dipakai oleh film-film horor yang mau ikut sukses seperti “Paranormal Activity”. Sayangnya, jumlahnya yang terlalu banyak justru berbanding terbalik dengan kualitasnya. Tidak heran, jika sekarang orang-orang sudah muak duluan apabila mendengar kata found footage.
“The Gallows” memang tidak banyak menawarkan trik-trik menakuti yang baru, sedikit banyak mengadopsi apa yang pernah dilakukan “The Blair Witch Project” dan “Paranormal Activity”, dalam urusannya menghadirkan rasa cekam. Namun film yang disutradarai oleh Travis Cluff dan Chris Lofing ini setidaknya memiliki kelebihan ketika bermain-main dengan kameranya, di tengah hiruk-pikuk horor found footage yang kian tidak kreatif dengan presentasinya. Saya mungkin akan menghiraukan “The Gallows”, jika bukan karena ada embel-embel found footage, seperti ibadah solat lima waktu, film horor found footage harus didahulukan dari film lainnya. Saya sepertinya diberi sedikit kelebihan untuk tak bosan dan muak dengan beragam judul film horor found footage yang bermunculan, walau sering dikecewakan. Dengan keklisean yang melekat pada jalinan cerita “The Gallows”, saya memang tidak berharap banyak penceritaannya akan berpengaruh dengan penilaian akhir saya pada film ini. Berfokus pada sebuah kisah urban legend, film ini nantinya mengajak kita mampir ke Beatrice High School, sebuah sekolah yang punya catatan kelam di masa lalu, dimana seorang muridnya ada yang tewas saat pementasan drama. Tewas secara mengenaskan, tergantung di tiang gantungan, Charlie Grimille pun jadi legenda yang menakutkan.
Paruh pertama “The Gallows” bisa dikatakan hampir tidak ada apa-apa, di bagian ini Travis dan Chris memang sengaja memakainya untuk basa-basi, mengenalkan kita dengan kisah Charlie Grimille, sekaligus mempertemukan kita dengan Reese, Cassidy, Ryan dan Pfeifer yang nantinya akan “ditumbalkan” untuk jadi korban teror Charlie. Seperti juga film-film horor found footage sebelumnya, kita lagi-lagi dipaksa untuk melewati serangkaian obrolan membosankan, ibarat sebuah ujian, jika kita berhasil melewatinya, maka “The Gallows” akan memberikan kejutan di paruh kedua. Jadi “The Gallows” memang menginginkan kita untuk bersabar, ini juga semacam trik agar penonton dibuat penasaran menunggu apa yang bakalan terjadi, kita tahu Reese dan kawan-kawan akan dipertemukan dengan Charlie, ini hanya soal waktu sampai teriakan demi teriakan menghiasi “The Gallows”. Rasa penasaran menanti nasib buruk yang akan menimpa karakter-karakternya, serta menunggu misteri terungkap satu-persatu, semua itu adalah pengorbanan yang harus kita lakukan, apakah pengorbanan tersebut nantinya setimpal atau tidak? Jawaban saya adalah “iya”, saya bisa memaafkan dan melupakan beragam dialog tidak penting dan membosankan di paruh pertama, karena “The Gallows” punya paruh kedua yang di luar dugaan cukup menyenangkan, untuk film hororfound footage yang sekali lagi tidak menawarkan trik baru untuk menakuti kita.
Kelemahan saya adalah, selalu saja berhasil ditakuti dengan trik lama, suka atau tidak suka “The Gallows” berhasil memanfaatkan kelemahan tersebut. Salahnya, horor found footage kebanyakan tidak hanya sembarang memilih trik-trik yang sudah ada—hanya untuk dipasangkan dengan jump scare yang murahan—tetapi juga tidak tahu bagaimana mempergunakan trik-trik “kadaluarsa” tersebut agar masih bisa menakuti. “The Gallows” banyak pakai cara lama, tapi duo Travis dan Chris tahu timing-nya, tahu kapan harus mulai menakuti dan mengejutkan saya dengan segala jump scare yang sudah disiapkan. Tidak semua trik berjalan sesuai keinginan Travis dan Chris, beberapa gagal dalam usahanya untuk membuat kita ketakutan dan berteriak, tapi beberapa juga sukses ketika saya mendengar orang lain di sebelah saya berteriak kencang—sedangkan saya sendiri bisa merasakan jantung saya berdebar keras. Permainan kamera di “The Gallows” pun saya pikir menarik, efektif untuk memaksa penonton menatap layar, mengikuti kemana si pemegang kamera mengarahkan sudut pandangnya. Ketika penonton lengah dan terpaku, di saat yang tepat Travis dan Chris dengan brengseknya memunculkan sesuatu yang mengagetkan. Sensasi ditakut-takuti inilah yang saya inginkan dari film horor found footage, seperti yang pernah saya rasakan ketika menyaksikkan “Paranormal Activity”, dan saya kembali bisa merasakan sensasi menyenangkan itu di “The Gallows”, saya menikmati setiap triknya, tidak baru tapi tetap seru.
Rating :