Cinta Selamanya adalah sebuah film drama romansa arahan Fajar Nugros yang jalan ceritanya diadaptasi dari novel berjudul Fira dan Hafez karya Fira Basuki. Fira dan Hafez sendiri bukanlah sebuah novel percintaan biasa. Novel yang dirilis pertama kali pada tahun 2013 tersebut merupakan catatan cinta dari sang penulis novel yang merangkum kisah nyata kehidupan rumah tangganya bersama sang suami, Hafez Agung Baskoro, mulai dari awal pertemuan mereka hingga akhirnya sang suami meninggal dunia tidak lama selepas pernikahan mereka. Dalam pengarahan cerita yang kurang sesuai, Fira dan Hafez dapat saja diterjemahkan menjadi sebuah sajian penceritaan film yang sentimental nan mendayu-dayu. Beruntung, Cinta Selamanya kemudian digarap sebagai sebuah drama kehidupan yang bertutur secara sederhana namun berhasil tampil memikat terutama berkat chemistry yang sangat apik dari kedua pemeran utamanya, Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto.
Cinta Selamanya memulai kisahnya dengan gambaran kehidupan seorang Fira Basuki (Atiqah Hasiholan). Dengan kesibukannya sebagai orang tua tunggal bagi seorang puteri yang tengah beranjak dewasa, Syaza (Shaloom Razade), sekaligus perannya sebagai seorang pemimpin redaksi bagi salah satu majalah lifestyle terbesar di Indonesia, Cosmopolitan, yang juga masih menyempatkan waktunya untuk menulis beberapa novel, romansa jelas bukanlah lagi sebuah prioritas utama dalam kehidupan Fira Basuki. Namun, pertemuannya dengan Hafez Agung Baskoro (Rio Dewanto) dalam sebuah acara pencarian bakat mengubah kehidupannya. Meskipun semenjak awal telah berusaha untuk menolak kehadiran Hafez, khususnya karena perbedaan usia mereka yang terpaut 11 tahun, namun Fira akhirnya luluh dengan kesungguhan Hafez untuk merebut hatinya. Sayang, kebahagiaan yang berlanjut dengan pernikahan tersebut tidak berlangsung lama. Ketika Fira sedang mengandung bayi pertamanya bersama Hafez, kisah percintaan mereka berakhir ketika sang suami meninggal dunia akibat sebuah penyakit yang telah lama bersembunyi dalam tubuhnya.
Cinta Selamanya sendiri bukannya hadir tanpa masalah. Keterlibatan social media dalam kehidupan kedua karakter utama yang kemudian turut dihadirkan dalam jalan cerita film ini seringkali tampil sebagai gimmick belaka tanpa pernah menyajikan esensi yang kuat bagi jalan cerita utama. Fajar Nugros sendiri mungkin berniat untuk menampilkan deretan tweet yang berisi kata-kata puitis yang dikirimkan karakter Fira dan Hafez satu sama lain sebagai sebuah catatan kecil bagi perjalanan romansa kedua karakter tersebut. Sayang, pada kebanyakan bagian, sajian tersebut justru terasa sebagai jalan pintas atas ketidakmampuan untuk menyajikan pengisahan yang lebih mendalam atas hubungan kedua karakter utama dalam film ini. Masalah juga dapat dirasakan pada beberapa konflik yang tersaji kurang matang dan terkesan berlalu begitu saja. Cinta Selamanya jelas akan hadir lebih padat dan efisien jika beberapa konflik pendukung yang kurang esensial dalam jalan ceritanya dihilangkan begitu saja.
Walaupun dengan beberapa kelemahan dalam penyajian ceritanya, sebagai sebuah romansa, Cinta Selamanya mampu tampil begitu emosional. Sebagai seorang sutradara, Fajar Nugros terasa mengenal betul konten cerita yang ingin ia bawakan. Cinta Selamanya berhasil disajikan dengan ritme penceritaan yang tepat sehingga penonton diberikan kesempatan yang cukup luas untuk mengenal karakter Fira Basuki serta kehidupan dan kisah romansa yang tersaji selama rentang waktu penceritaan film ini. Sentuhan akan kehadiran budaya Jawa yang kental dalam presentasi film juga memberikan warna penceritaan tersendiri yang sangat menyenangkan – meskipun keputusan untuk menghadirkan lagu Kangen Kowe milik Didi Kempot dalam aransemen modern secara berulang kali dalam banyak bagian film jelas memberikan efek kejenuhan bagi pendengarnya. Cinta Selamanya jelas berada dalam jajaran film terbaik yang pernah diarahkan oleh Fajar Nugros.
Keunggulan utama dari Cinta Selamanya jelas datang dari penampilan akting dari jajaran pemerannya. Berada di jajaran paling depan, Atiqah Hasiholan mampu menghidupkan karakter Fira Basuki sebagai sosok wanita yang begitu modern dalam jalan pemikirannya namun juga tetap memegang teguh sisi tradisional dalam cara bersikap. Penampilan prima Atiqah Hasiholan juga mampu diimbangi dengan baik oleh Rio Dewanto yang sekaligus berhasil menyajikan chemistry yang luar biasa mengikat antara kedua karakter yang mereka perankan — dan jelas jauh lebih baik dari apa yang mereka tampilkan dalam Bulan di Atas Kuburan (Edo WF Sitanggang, 2015) beberapa waktu yang lalu. Tidak lupa, dukungan dari jajaran pemeran pendukung yang berisi nama-nama seperti Widi Mulia Sunarya, Dewi Irawan, Tio Pakusadewo hingga Joanna Alexandra, Shaloom Razade hingga Amanda Soekasah tampil solid dalam memperkuat kualitas departemen akting film ini.
Kualitas produksi film ini juga tampil berkelas. Yadi Sugandi – yang juga turut berperan sebagai karakter ayah Hafez – berhasil menyajikan deretan gambar-gambar indah yang semakin menekankan unsur puitis dari Cinta Selamanya. Tata musik dengan orkestrasi megah garapan Tya Subiakto juga mampu mengiringi kisah cinta dari karakter Fira dan Hafez dengan begitu seksama. Sebagai sebuah film yang juga menyentuh dunia fashion dalam beberapa bagiannya, Cinta Selamanya juga mampu dihadirkan dengan pemilihan deretan kostum yang sangat menarik dan cukup mampu untuk tampil mencuri perhatian. Secara keseluruhan, Cinta Selamanya jelas tidak hadir sempurna. Meskipun begitu, dalam ketidaksempurnaan tersebut, Cinta Selamanya masih mampu tergarap sebagai sebuah drama romansa emosional dalam takaran yang sama sekali tidak pernah terasa berlebihan.
Rating :