Usaha keras seorang Rudi Soedjarwo untuk menemukan bakat-bakat baru untuk mengisi berbagai posisi di dunia perfilman Indonesia memang layak untuk dikagumi. Bagaimana tidak. Ketika banyak produser lain mengejar banyak nama maupun wajah familiar untuk membintangi maupun menggarap film mereka, Rudi malah melatih bakat-bakat baru untuk kemudian dilibatkan dalam film-film yang ia produksi. Di tahun 2013 lalu, proyek perdana Rudi dalam menggarap bakat-bakat baru yang dinamakan Undergound Kick Ass merilis sebuah film layar lebar berjudul 23:59 Sebelum… yang, sayangnya, hadir dalam kualitas dan kemasan yang cukup mengecewakan. Kali ini, lewat proyek yang sama namun kini dinamakan Rumah Terindah, Rudi memproduseri sebuah film drama romansa remaja berjudul Janji Hati. Apakah Janji Hati mampu tampil lebih baik dari 23:59 Sebelum…?
Berbeda dengan 23:59 Sebelum… yang naskah ceritanya ditulis serta digarap oleh anak-anak didik Rudi Soedjarwo dalam proyek Underground Kick Ass, naskah cerita Janji Hati diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama karya Elvira Natali – yang juga berperan sebagai aktris utama dalam film ini. Jalan cerita Janji Hati sendiri sebenarnya berjalan (begitu) sederhana: kisah cinta segitiga antara seorang gadis dengan dua orang pria yang saling bersaudara yang nantinya akan membawa sang gadis pada memori kelamnya di masa lalu. Premis yang sederhana tersebut entah kenapa kemudian harus diramu untuk berpenampilan kompleks oleh penulis naskah Anggi Septianto. Mulai dari dialognya yang berusaha keras (mamaksa?) untuk tampil puitis, konflik cinta antara kedua karakter utama yang sepertinya tidak pernah berujung hingga kehadiran plot tentang kisah bahwa sang karakter utama wanita pernah jatuh cinta dengan kakaknya sendiri – bagian yang tampil hanya sekilas namun tetap akan membuat banyak penonton mengernyitkan dahi mereka.
Arahan dari Otoy Witoyo (Mafia Insyaf, 2010) juga tidak membuat keadaan lebih baik lagi. Naskah cerita Janji Hati yang berbicara dengan bertele-tele dieksekusi dengan ritme penceritaan yang demikian lamban. Jelas tidak akan mengherankan jika dalam durasi penceritaan yang mencapai 114 menit, Janji Hati terasa begitu kosong dengan konflik penceritaan yang esensial. Ending cerita yang dipilih juga terkesan murahan. Berusaha meraih haru dan tangis penonton dengan senjata kematian yang datang tiba-tiba tanpa adanya latar belakang cerita yang kuat. Pada kebanyakan bagiannya, film ini hanya menampilkan dialog antara dua karakter yang saling memandang satu sama lain dalam durasi yang terasa dipanjang-panjangkan. Tampilan gambar yang sepertinya dibuat dengan efek visual a la Instagram juga sama sama sekali tidak membantu. Malah seringkali terasa mengganggu. Seperti berniat untuk menyajikan sebuah film bernada seni a la film-filmnya Terrence Malick namun dengan isi cerita yang terlalu bodoh untuk dapat dianggap serius.
Pengaruh arahan Otoy Witoyo juga tidak terasa kuat pada kemampuan penampilan akting para pemerannya. Tak satupun jajaran pengisi departemen akting film ini tampil dalam kapasitas yang memuaskan. Aliando Syarief mungkin adalah yang “terbaik” diantara mereka – meskipun sering hadir dalam intonasi dialog dan ekspresi wajah yang kelewat datar. Yang lainnya? Banyak diantara para pemeran bahkan terlihat tidak memiliki kemampuan untuk berakting. Elvira Natali terlihat kaku hampir dalam kebanyakan adegan. Dua orang pemeran yang tampil sebagai orangtua karakternya bahkan berlaku seperti robot ketika berdialog. Begitu pula dengan aktor utama lainnya, Guntur Nugraha, dan para pemeran pendukung lain yang hadir dalam porsi penceritaan yang minim.
Janji Hati jelas bukanlah sebuah presentasi yang seburuk 23:59 Sebelum…. Namun, film ini jelas kembali menjadi pembuktian bahwa bakat dan kemampuan memerlukan beberapa waktu untuk dapat benar-benar bersinar. Janji Hati gagal untuk tampil lebih kuat karena film ini masih terasa mentah di banyak bagiannya, entah itu dari sisi penggarapannya maupun orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Rating :