Review

Info
Studio : Elevation Pictures
Genre : Drama
Director : Morten Tyldum
Producer : Teddy Schwarzman, Nora Grossman, Ido Ostrowsky
Starring : Benedict Cumberbatch, Keira Knightley, Matthew Goode, Mark Strong, Allen Leech, Charles Dance

Kamis, 22 Januari 2015 - 12:33:03 WIB
Flick Review : The Imitation Game
Review oleh : Haris Fadli Pasaribu (@oldeuboi) - Dibaca: 4228 kali


Biografi Yang Meminggirkan Ironi Demi Balutan Hiburan

Sutradara asal Norwegia, Morten Tyldum (Headhunters) memberikan kita sebuah film perang tanpa adegan perang yang sangat mengibur berjudul The Imitation Game. Tapi ini bukan film perang biasa. Film berangkat dari heroisme seorang pria bernama Alan Turing (dalam film diperankan oleh Benedict Cumberbatch). Turing bukan pria biasa. Dan jangan heran kalau kurang mengenal pria ini, karena nama besar yang diraihnya justru diperoleh beberapa dekade kemudian, jauh setelah ia meninggal dunia.

Siapakah Alan Turing? Untuk mengetahui siapa dia selengkapnya, mungkin bisa membaca Wikipedia, atau membaca buku tulisan Andrew Hodges,  Alan Turing: The Enigma, yang menjadi dasar dari film ini.

Dalam film disebutkan jika Turing adalah seorang jenius Matematika dan ahli pemecah kode yang cenderung arogan dan anti sosial. Ia juga seorang pria homoseksual. Bagaimana variabel-variabel yang berbeda ini dijalin dalam satu kisah tentang sekelompok elit Inggris yang memecahkan kode rahasia Jerman dalam Perang Dunia II?

Film dipecah menjadi beberapa bagian; kisah Turing semasa masih remaja dan hubungannya dengan remaja lain bernama Christopher, pasca perang saat ia menjadi sosok depresif dan terancam terpenjara karena melakukan perbuatan homoseksual (saat itu masih terlarang di Inggris) dan juga tentunya masa ia menghabiskan waktu bersama orang-orang pintar lainnya yang bergabung dalam Government Code and Cypher School di  Bletchley Park yang terpencil.

Bagian terakhir inilah yang mendominasi cerita, dimana dua bagian lain bertugas sebagai prolog dan epilog. Meski demikian, jangan harapkan alur yang linear, karena ketiga bagian tersebut saling berkelindaan, dalam gerak maju mundur yang atraktif.

Harus diakui jika Tyldum melakukan tugasnya dengan baik. Meski tidak linear, tapi filmnya gampang diikuti. Kita, sebagai penonton, akan turut serta dalam arus kisahnya, yang kadang mencekam, kadang emosional, dan kadang lagi melodramatis.

Keberhasilan Tyldum tentunya didukung oleh akting Cumberbatch yang dengan tangkas juga meyakinkan dalam menejermahkan karakter Turing. Kita mungkin merasa kesal kepada Turing versi Cumberbatch, tapi sulit untuk tidak merasa simpati ke padanya. Ia adalah karakter kompleks yang cendrung akan ditampilkan secara overakting oleh pemain yang salah. Cumberbatch berhasil menjadi penggerak dinamisasi film dengan efektif dan nyaris sempurna.

Pemeran lainnya juga tak kalah menjulang, seperti Keira Knightley, yang melakukan reuni dengan Cumberbatch setelah Atonement. Mereka berdua memamerkan kualitas akting yang memukau. Knightley, meski cenderung lebih tertahan secara penyampaian emosi, bisa menjadi tandem kuat bagi Cumberbatch. Matthew Goode, Mark Strong, Allen Leech, Charles Dance dan Rory Kinnear pun tak kalah gemilang dalam peran karakter pendukung.

Yang menjadi masalah adalah naskah yang ditulis oleh Graham Moore. Naskah terlalu memfokuskan pada heroisme Turing, dengan formula klise yang-sabar-akan-menang-di-akhir-terlepas-banyak-kendala-dan-oh-jangan-lupa-masukkan-twist yang absolut. Naskah juga sangat bernafsu untuk menjadikan Turing sebagai sosok superior yang melodramatis, sehingga mengorbankan banyak hal yang membuat karakternya menjadi lebih “manusia”.

Jika cermat, terutama setelah membaca-baca siapa Turing sebenarnya, banyak hal yang dipangkas dari aslinya dan dimodifikasi agar sosok Turing dalam film bisa mencapai persona seperti tersebut di atas. Tujuan naskah memang lebih menggali unsur melankolisme dan heroisme dan itu membuat film terasa sangat “aman” dalam bertutur. Hal-hal yang sifatnya sensitif cenderung berada di luar pakem “show, don’t tell” yang sebenarnya bisa menjadikan karakter Turing lebih berkesan lagi.

Turing adalah seorang pria homoseksual yang hidup di masa dimana ekspos akan perilaku demikian masuk dalam jerat hukum pidana. Ada ironi getir yang melandasi kisah ini, Ia adalah seorang pahlawan yang justru tak diakui oleh negaranya. Bukan itu saja, kegetirannya dalam memandang hidup mungkin bisa dibangun melalui masa mudanya. Hal-hal, yang ironisnya, dengan sengaja termarginalkan oleh film.

Sisi homoseksual Turing tidak lebih dan tidak kurang adalah pengantar. Ia bertujuan untuk memelintir rasa simpati ke pada Turing alih-alih sebagai bangunan ceritanya. Tidak ada penggambaran yang konkrit dan tentang homoseksualitas Turing, kecuali beberapa informasi yang sifatnya verbal. Jika ada pun cenderung bermakna ganda dan mengandalkan interprestasi yang mengarah pada ambiguisme arti. Toh, diganti dengan latar belakang yang lain juga sebenarnya tidak masalah. Asal selama kita melihat Turing sebagai sosok yang… berbeda. Dengan terpinggirkannya sisi homoseksualitas ini, agak sulit untuk melihat sosok Turing dengan lebih bernas dan terlepas hanya sebatas karikatur.

Apakah sikap anti sosialnya dicetuskan karena sisi homoseksualitas yang terpasung atau ia memang seorang anti-sosial semenjak orok? Tidak jelas. Yang jelas, film memperlihatkan dirinya sebagai sosok dengan gejala seperti  penderita sindrom Asperger atau Autis untuk menekankan tingkah lakunya yang “unik”.

Jikalah film memang memfokuskan pada dilematika saat Turing dan kawanannya memecahkan sandi rahasia keluaran mesin Enigma milik Jerman, terlalu banyak hal mengganjal yang sulit untuk tidak membuat garuk-garuk kepala saat menyaksikannya. Turing terlihat sebagai sosok yang tak pernah salah, dominatif, dan selalu memiliki ide gemilang, termasuk menemukan mesin bombe pemecah sandi rahasia milik Jerman tadi, meski pada kenyataanya mesin tersebut bukan murni kreasinya. Termasuk juga berbagai detil lainnya, yang diplintir demi aspek sinematis semata, sehingga akhirnya malah terlihat berlebihan, kalau tidak mau disebut tidak masuk akal.

Dengan bermain aman dan sangat straight-forward sebagai sebuah kisah bombastis tentang pemecah kode gemilang, The Imitation of Game justru kehilangan dimensi sense of irony, yang sebenarnya bisa menjadi aspek tematis di lapisan kedua kisahnya.

Jadi, Alan Turing adalah karakter yang luar biasa, tapi sayangnya disampaikan dalam sebuah biografi yang cenderung banal dan agak sulit untuk menjadikan The Imitation Game sebagai referensi yang komprehensif tentang Turing, terlepas betapa menariknya ia sebagai sebuah film hiburan.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.