Dengan judul sebombastis Di Balik 98, jelas tidak salah jika banyak orang mengharapkan bahwa film yang menjadi debut penyutradaraan film layar lebar aktor watak Lukman Sardi ini akan memberikan sesuatu yang baru atau bahkan mengungkap fakta tersembunyi mengenai Kerusuhan Mei 1998. Sayangnya, hal tersebut sepertinya bukan menjadi tujuan utama dari dibuatnya film yang naskah ceritanya ditulis oleh Samsul Hadi dan Ifan Ismail ini. Tragedi yang menjadi catatan kelam masyarakat Indonesia di bidang keamanan/sosial/politik/budaya/hukum tersebut hanyalah menjadi latar belakang dari kisah perjuangan cinta dan pengorbanan cinta dari film ini. Atau itu justru yang menjadi arti dari judul Di Balik 98?
Sebenarnya tidak juga. Selain mengisi 106 menit durasi perjalanan filmnya dengan kisah dan karakter-karakter fiktif seperti Diana (Chelsea Islan), Daniel (Boy William), Bagus (Donny Alamsyah), Salma (Ririn Ekawati), Rachmat (Teuku Rifnu Wikana) dan Gandung (Bima Azriel), Di Balik 98 juga berisi karakter-karakter nyata seperti B.J. Habibie (Agus Kuncoro), Susilo Bambang Yudhoyono (Panji Pragiwaksono), Amien Rais (Eduwart Soritua) hingga Soeharto (Amoroso Katamsi) serta sekelumit kisah keberadaan mereka dalam tragedi tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah utama bagi film ini. Lukman sepertinya terlalu berusaha untuk menyeimbangkan kehadiran “kisah drama fiktif” dengan “intrik politik” dalam jalan cerita Di Balik 98. Akibatnya, tidak satupun dari kedua bagian kisah tersebut mampu tampil dengan eksplorasi yang mendalam.
Lihat saja bagaimana indikasi hubungan romansa antara karakter Diana dan Daniel yang terasa hambar karena karakter dan kisah mereka tersaji dalam kapasitas apa adanya. Atau bagaimana tidak pentingnya kehadiran kisah karakter ayah dan anak, Rachmat dan Gandung, dalam keseluruhan pengisahan Di Balik 98. Begitu pula dengan sekelumit kisah para mahasiswa aktivis maupun berbagai kegiatan yang terjadi di Istana Negara. Kesemuanya tampil setengah matang akibat penceritaan yang kurang mendalam. Datar tanpa meninggalkan kesan yang berarti.
Bukan berarti Di Balik 98 adalah sebuah film yang buruk. Sebagai seorang rookie, Di Balik 98 justru telah memperlihatkan bahwa Lukman memiliki mata yang jeli dalam materi cerita yang menarik, tata produksi yang apik – meskipun Di Balik 98 seringkali terasa terlalu bergantung pada footage-footage pemberitaan ataupun rekaman video usang mengenai tragedi tersebut di masa lampau, serta pengarahan atas para pengisi departemen aktingnya. Namun Di Balik 98 jelas akan lebih mampu tampil lebih kuat seandainya film ini mau memilih apa yang paling ingin dihantarkannya kepada penonton: menjadi sebuah film drama keluarga yang mengharu biru dengan latar Kerusuhan Mei 1998 atau tampil tegas sebagai drama politik yang mampu menyingkap berbagai kisah yang terjadi di masa itu.
Tugas pengarahan Lukman jelas sangat terbantu dengan kehandalan aktor dan aktris yang mengisi departemen akting filmnya. Nama-nama seperti Donny Alamsyah, Teuku Rifnu Wikana, Ririn Ekawati, Chelsea Islan – dan tata rias yang menghitamkan kulitnya guna meyakinkan setiap penonton bahwa ia adalah seorang aktivis kampus – hingga Alya Rohali, Amoroso Katamsi, Agus Kuncoro – meskipun akan lebih terasa sebagai tiruan Reza Rahadian yang berperan sebagai B.J. Habibie dalam Habibie & Ainun (2012) daripada sebagai sosok B.J. Habibie sendiri – dan Asrul Dahlan tampil dengan lugas terlepas dari karakter-karakter mereka yang begitu terbatas pengisahannya. Beberapa cameo yang hadir dalam memerankan tokoh-tokoh politik Indonesia juga hadir dalam film ini meskipun seringkali hanya menjadi distraksi terhadap jalan cerita daripada sebagai pelengkap kualitas penceritaan akibat peran mereka yang tampil selintas kedipan mata belaka.
Bukan sebuah debut yang buruk namun jelas akan mampu lebih berkesan jika Lukman Sardi mau memberikan kualitas penceritaan dan pengarahan yang jauh lebih tegas lagi.
Rating :