Ketika Liam Neeson akhirnya setuju untuk terlibat dalam pembuatan film action thriller Taken (Pierre Morel, 2008) yang diproduseri oleh Luc Besson, Neeson jelas tidak akan menduga bahwa film tersebut akan meraih kesuksesan luar biasa di seluruh belahan dunia. Tidak hanya berhasil meraih kesukesan komersial dan menjadi sebuah titik balik bagi karirnya sebagai seorang aktor – sebuah titik balik yang mengubah imej Neeson dari seorang aktor drama menjadi seorang bintang film aksi yang begitu menjual, kesuksesan Taken juga menyihir Hollywood untuk kembali melirik para aktor-aktornya yang telah berusia matang serta, layaknya Neeson, menjual mereka kembali sebagai seorang bintang film-film aksi.
Enam tahun setelah perilisan film pertama, dan setelah merilis sebuah sekuel arahan Olivier Megaton di tahun 2012 yang bahkan berhasil meraih kesuksesan komersial lebih besar dari Taken, Neeson kembali melanjutkan petualangan aksinya lewat Taken 3 – bagian yang menurut Neeson akan menjadi penutup dalam seri film ini. Taken 3 masih menggunakan formula lama yang telah begitu familiar dengan Luc Besson masih bertanggung jawab sebagai produser sekaligus penulis naskah bersama Robert Mark Kamen serta jajaran pemerannya yang masih menampilkan Neeson bersama Maggie Grace dan Famke Janssen. Lalu apakah Taken 3 masih menarik perhatian sekuat dua seri pendahulunya?
Tidak, sayangnya. Setelah dua kali penampilan karakter Bryan Mills yang tangguh dan mampu menghadapi hambatan serta rintangan apapun tersebut, kali ini karakter tersebut telah kehilangan daya tariknya. Kejutan yang dulu datang ketika melihat seorang sosok karakter ayah dan suami (dalam usia yang tidak lagi muda) yang dalam segala keputusasaannya mampu berbuat apa saja dan melawan siapa saja demi menyelamatkan orang-orang yang begitu dicintainya kini telah terasa pudar. Penonton jelas telah memahami bahwa karakter Bryan Mills yang diperankan Neeson adalah karakter yang… well… tidak akan kalah oleh siapapun dalam setiap pertempurannya: mampu menghindar dari berbagai serangan senjata api, melawan dalam setiap pertarungan sekaligus menghilang dan bersembunyi dengan sempurna ketika dirinya berada dalam incaran. Even Superman got nothing compares to this old guy! Really! Hal inilah yang menjadi faktor utama mengapa menyaksikan perjuangan Bryan Mills dalam Taken 3 tidak lagi memberikan sensasi kesenangan yang sama seperti yang dahulu sempat mampu diberikan dua sekuel pendahulunya.
Usaha Besson dan Kamen untuk memberikan sedikit rekonstruksi cerita dalam Taken 3 – dimana kali ini karakter Bryan Mills turut menjadi karakter yang dikejar daripada murni hanya melakukan sebuah pengejaran – juga tidak memberikan pengaruh yang besar pada kualitas penceritaan film secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena minimnya pengembangan cerita dan karakter di luar dari cerita dan karakter personal Bryan Mills sendiri. Jelas tidak mengherankan jika kemudian penampilan aktor pemenang Academy Awards, Forest Whitaker, terlihat sia-sia kehadirannya dalam berperan sebagai Inspector Franck Dotzler. Begitu juga dengan Dougray Scott yang berperan sebagai Stuart, suami dari mantan istri Bryan Mills, yang memiliki plot cerita yang cukup menarik namun gagal untuk dikembangkan dengan baik sehingga justru menjadi terasa dipaksakan kehadirannya. Arahan Megaton juga tidak banyak memberikan pengaruh positif pada Taken 3. Banyak adegan aksi yang seharusnya dapat menjadi sisi-sisi kuat film justru terasa mentah akibat tata gambar maupun pengarahan yang begitu lemah.
To be fair, Taken 3 bukanlah sebuah presentasi yang buruk secara keseluruhan. Namun dengan perkembangan film aksi yang semakin kuat di sepanjang tahun lalu – The Raid 2: Berandal dan John Wick sebagai beberapa contoh kuatnya – formula statis yang dihadirkan Luc Besson dan Robert Mark Kamen jelas menjadi terasa basi untuk disaksikan sekarang. No longer fun. No longer thrilling.
Rating :