Selayaknya film-film sejenis – film yang sebenarnya memiliki satu garis besar penceritaan namun kemudian dibagi menjadi beberapa bagian penceritaan untuk berbagai alasan – The Crossing – Part 1 akan sangat sulit (tidak mungkin?) untuk dapat memuaskan penontonnya dalam kalangan luas. Alasannya jelas karena bagian pertama dibuat dengan menahan semua potensi keunggulan utama namun tetap berusaha mencuri perhatian besar untuk ditumpahkan secara sepenuhnya di bagian kedua.
Layaknya Titanic (James Cameron, 1997) atau Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Sunil Soraya, 2013) yang memaparkan sebuah fiksi romansa dengan latar belakang sebuah kisah nyata, The Crossing – Part 1 juga menggunakan kisah nyata tragedi tenggelamnya kapal uap Taiping milik China pada 27 Januari 1949 yang menewaskan lebih dari 1500 awak kapal dan penumpangnya dalam jalinan kisahnya. Namun, jangan berharap untuk menyaksikan deretan adegan emosional mengenai apa yang terjadi pada saat tenggelamnya Taiping dalam bagian pertama dari The Crossing. Bagian ini hanya dijadikan Woo sebagai landasan cerita untuk film keduanya, mengenalkan deretan karakter pengisi cerita sekaligus memulai pertumbuhan konflik secara perlahan yang nantinya akan meledak dan diselesaikan di bagian kedua dari film.
Bukan berarti bahwa The Crossing – Part 1 tampil datar dan buruk di sepanjang 130 menit presentasinya. Naskah yang ditulis oleh Wang Hui-ling (Lust, Caution, 2007) cukup jeli untuk tidak melulu menumpukan ceritanya pada tragedi yang akan ditampilkan di film ini. Dalam film ini, Wang mengisi garis ceritanya dengan kisah peperangan yang terjadi pada masa Revolusi China di tahun 1949 sekaligus memperkenalkan lima orang karakter utama dengan tiga kisah cinta yang terjalin antara mereka. Sebuah jalinan intrik yang cukup kuat untuk membentuk sebuah film yang dapat berdiri sendiri – dan Woo mampu memberikan arahan yang mumpuni bagi jalinan kisah tersebut.
Tidak dapat disangkal, kelima pemeran utama The Crossing – Part 1 merupakan sumber kehidupan yang sangat esensial bagi film ini. Meskipun penggalian karakter yang mereka perankan cukup terbatas, Takeshi Kaneshiro dan Song Hye-kyo tampil tidak mengecewakan. Begitu juga dengan Huang Xioming dan Tong Dawei – yang berhasil tampil kuat lewat penampilan mereka. Zhang Ziyi sendiri diberikan plot pengisahan yang paling luas dibandingkan pada pemeran lain. Karakter Zhang merupakan karakter pencuri perhatian emosional utama dan tugas itu sendiri mampu dieksekusi Zhang dengan baik. Setiap penonton akan merasakan kepedihan yang dirasakan oleh karakter yang dihadirkan Zhang dengan begitu mendalam. Dari sisi teknikal, The Crossing – Part 1 juga memuaskan. Tata sinematografi arahan Zhao Fei mampu menampilkan keindahan yang cukup membuai dalam tiap adegan film. Begitu juga dengan tata musik karya Taro Iwashiro yang memberikan dorongan kehidupan lebih bagi jalan penceritaan tanpa pernah menghadirkannya secara memaksa atau berlebihan.
Memang, The Crossing – Part 1 masih terasa menahan diri dalam pengisahannya. Masih jauh dari kesan epik. Meskipun begitu, John Woo tetap mampu menjadikan bagian ini lebih dari sekedar sebagai teaser sepanjang lebih dari dua jam mengenai apa yang akan disiapkannya bagi penonton di bagian kedua film. Mewah dan cukup indah dalam segala keterbatasan penceritaannya.
Rating :