Pada masanya, film silat merupakan primadona di perfilman kita. Bahkan mungkin sebagian besar dari generasi sekarang besar melalui film-film tersebut yang disaksikan entah di bioskop atau layar televisi. Berbagai judul menjadi kekal dalam benak, dan banyak pemainnya pun melegenda. Film-film yang seolah menggambarkan kultur kita sebagai bangsa Asia yang menganggap seni bela diri sebagai bagian dari keseharian. Meski mungkin gaya hidup kependekaran sudah memudar di masa modern, tapi setidaknya ia tetap hidup dalam format film cerita.
Mendengar kabar jika Miles Film yang digawangi oleh Mira Lesmana ingin mengembalikan kejayaan era film silat Indonesia, tentunya disambut dengan sangat gembira. Semenjak menjadi wacana, Pendekar Tongkat Emas, demikian judulnya, sudah diantisipasi oleh banyak orang. Tapi film silat sudah cukup lama mati suri dan jika ada pun diwakili oleh serial-serial televisi yang dikerjakan dengan sangat buruk dan serampangan. Oleh karenanya sulit untuk tidak merasa pesimis atau ragu.
Miles menjawab keraguan tersebut dengan menghadirkan nama besar Ifa Isfansyah sebagai sosok yang berada di belakang layar. Beberapa film bermutu baik sudah digarapnya. Sebut saja Garuda di Dadaku (2010) atau Sang Penari (2011). Tidak hanya itu. Beberapa sosok kenamaan masa kini pun ditarik untuk membintangi, seperti Nicholas Saputra, Reza Rahadian, Eva Celia dan Tara Basro. Belum cukup, film juga mengajak para aktor senior seperti Christine Hakim dan Slamet Rahardjo untuk mendukung.
Kekuatan sebuah film silat tentunya berada di adegan perkelahiannya. Untuk memberikan yang terbaik, Miles mengundang Xiong Xin Xin, seorang aktor laga yang juga sudah cukup makan asam garam di dunia film perlagaan Mandarin. Kalau menggemari serial film Once Upon A Time In China karya Tsui Hark di dekade 90-an, pasti mengenal dirinya sebagai salah satu murid suhu Huang Fei-hung.
Akhirnya datanglah si Pendekar Tongkat Emas. Ia membawa kisah lama, perebutan senjata sakti dan balas dendam. Tidak mengapa. Karena barang usang bisa mengkilap jika digosok dengan cermat.
Alkisah, di sebuah negeri antah-berantah, seorang pendekar sepuh bernama Cempaka (Hakim) ingin mewariskan sebuah senjata pusaka kepada salah satu muridnya. Meski Biru (Rahadian) adalah murid paling tua, tapi Cempaka justru memilih Dara (Celia) yang masih mentah.
Rasa tidak senang menyebabkan Biru, yang dibantu adik seperguruannya, Gerhana (Basro), membunuh sang guru dan merebut Tongkat Emas, sang pusaka warisan. Dara bersama Angin (Aria Kusumah), saudara seperguruan mereka yang paling muda, kemudian menjadi orang buron. Syukurlah mereka bertemu dengan sosok misterius bernama Elang (Saputra) yang siap membantu mengembalikan pusaka perguruan ke tangan yang berhak.
Sederhana memang kisah yang diurai oleh Pendekar Tongkat Emas. Sekali lagi, tidak mengapa. Bagaimanapun andalan film silat adalah adegan silatnya. Ia harus seru, mendebarkan dan meyakinkan.
Sayangnya editing cepat ala cut-to-cut yang berlebihan dan pemilihan shot close up sangat mengganggu untuk melihat secara jelas dinamisasi adegan pertarungan. Akhirnya keseruan dalam intensitas, yang seharusnya menjadi kekuatan film seperti Pendekar Tongkat Emas, nyaris absen.
Ini menjadi masalah saat porsi adegan laga sangat minim dan film menghabiskan sebagian besar waktunya dalam drama yang dipenuhi dialog verbal. Sebenarnya bukan sandungan besar, jika saja naskahnya memiliki kedalaman atau alur yang kuat. Ang Lee dan Zhang Yimou sudah membuktikan jika film silat yang kental dengan drama pun bisa memikat. Asal naskahnya jelas dan rapi, serta tentunya dibekali adegan laga yang istimewa.
Alur yang padat tidak ditemui dalam Pendekar Tongkat Emas. Film cenderung bertele-tele dan melebar-lebarkan materi cerita yang tipis. Sangat tipis malah. Dan cerita yang sederhana seharusnya juga tidak meminggirkan logika begitu saja. Terlalu banyak informasi yang disampaikan secara gampangan dan selintas-lintas.
Sebagai contoh, diceritakan jika Biru dan Gerhana mengambil alih dunia persilatan dengan tangan besi. Meski konsep dunia persilatan di film ini juga tidak jelas betul, tapi tidak ditemui sama sekali gambaran yang konkrit dan kohesif tentang bagaimana Biru dan Gerhana melaksanakan plot mereka. Kecuali diperlihatkan tampang keduanya yang petantang-petenteng. Dua sosok ini terlihat keras dan tampil garang hanya berandalkan mimik serta gestur, namun terlupa memberi jiwa. Walhasil, tidak meyakinkan sama sekali.
Masalah tidak berlaku hanya pada karakter antagonis, namun diidap juga oleh para protagonis utama seperti Elang dan Dara. Selain miskin pengenalan, juga tidak ada kedalaman, apalagi pengembangan karakter yang proporsional. Penonton dibiarkan secara bulat menerima siapa mereka dengan begitu saja. Hasilnya keterikatan emosi terhadap para karakter yang seharusnya mendapat simpati dan menjadi "andalan" penonton, terasa longgar. Kita nyaris tidak peduli dengan mereka.
Mengingat naskah dikerjakan secara beramai-ramai oleh Jujur Prananto, Mira Lesmana, Seno Gumira Ajidarma, dan sang sutradara, Ifa Isfansyah, adalah sebuah kekecewaan besar jika cerita dalam Pendekar Tongkat Emas sungguh tidak matang.
Lebih disayangkan lagi film juga tidak didukung oleh pemain yang kredibel. Memang sangat riskan mengajak pemain yang tidak memiliki latar ilmu bela diri untuk berperan dalam film laga. Jelas terlihat jika mereka keteteran. Tapi, untuk adegan dramanya sendiri pun mereka tidak memberikan penampilan yang optimal.
Harus diakui jika filmnya cantik. Sangat cantik malah. Gunnar Nimpuno (Modus Anomali, Sokola Rimba, Killers) sukses menangkap lanskap yang megah dalam setiap frame film. Hanya saja, banyaknya adegan untuk pemenuhan estetika visual atau bahasa gambar seolah-olah membuat film berpretensi lebih. Padahal adegan-adegan tersebut lebih sering tidak fungsional atau memiliki pemaknaan. Shot-shot indah yang memerangkap keelokan alam Sumba tidak lebih hanya latar atau pelengkap transisi adegan. Ujung-ujungnya lebih terlihat sebagai upaya membungkus dangkalnya cerita.
Pada akhirnya Pendekar Tongkat Emas memang hanya sebatas konteks tanpa eksekusi yang kuat. Plot sederhana bukan masalah utama. Seting antah-berantah tidak mengapa. Karakter dua dimensi masih bisa dimaklumi. Tapi gagalnya presentasi laga yang dibarengi dinamika yang kuat adalah pengganjal film untuk tampil lebih baik lagi.
Secara umum film masih bisa dinikmati. Namun, ibarat tongkat emas itu sendiri, ia cantik dipandang, tapi tak begitu jelas kesaktiannya apa. Mubazir potensi, kalau kata orang.
Tampaknya kita masih harus menunggu lagi akan kembalinya era film silat Indonesia. Mungkin untuk waktu yang cukup panjang.