Saya bukan orang yang menuntut film horor harus punya cerita bagus, saya bisa cari di genre lain untuk cerita bagus, film horor yah harus seram, titik. Terkadang untuk mendapatkan rasa seram yang saya cari, saya harus tahan melewati cerita klise hasil daur-ulang ribuan kali, cerita yang bodoh atau bahkan film horor yang sama sekali tak punya cerita. Cerita yang bagus dengan tambahan twist yang kata orang mind-blowing bagi saya hanya sebuah bonus, saya tak datang untuk dijejali keduanya, saya datang untuk ditakuti dan dikageti, that’s it. Pada akhirnya cerita adalah nomor dua, bukan berarti saya tak peduli, tapi pengalaman ditakuti jelas bagian terpenting. Saya ingin keluar dari bioskop dengan raut wajah berantakan, rambut berdiri dan bau pesing lengkap dengan bekas ngompol di celana, bukan sebaliknya keluar dengan wajah berseri-seri, dengan mulut berbusa tak berhenti mengatakan betapa bagus ceritanya. Jadi jika ada film horor yang lagi-lagi punya cerita “sekelompok remaja pergi ke kabin di tengah hutan antah-berantah lalu bla-bla-bla…melakukan sesuatu yang bodoh…bla-bla-bla kemudian satu-persatu diburu oleh orang gila bertopeng atau mahkluk berbulu atau whatever”, saya tak akan buru-buru berteriak “kembalikan uang saya!!”, karena sekali lagi, saya rela harus melalui kubangan cerita yang klise, untuk mendapatkan apa yang saya cari ketika menonton sebuah film horor, yaitu pengalaman ditakuti.
Beda kasus jika saya bertemu dengan film macam “Rumah Gurita”—yang tidak saja bodoh dalam urusan cerita tapi juga cukup idiot ketika menakuti—saya tak hanya minta duit saya dikembalikan, tapi tolong kembalikan juga waktu saya yang sudah terbuang sia-sia. Baiklah, saya harus bisa move on dari trauma akibat menonton “Rumah Gurita”, karena saya tak mau merusak review “The Pyramid” dan terlalu banyak ngomong soal film yang membuat kuping saya mengeluarkan darah tersebut. “The Pyramid” sebetulnya tak jauh beda dengan “Rumah Gurita” yang terlalu mengandalkan sound effect untuk mengagetkan penonton, keduanya sanggup membuat indra pendengaran rusak. Salah-satu bagian vital dari sebuah film horor memang pemakaian sound effect, jika dilakukan dengan tepat dan juga benar, maka akan sangat membantu men-deliver perasaan takut yang diinginkan. Film-film horor Koya Pagayo adalah contoh bagaimana tata suara dipergunakan dengan tidak wajar, memperlakukan telinga-telinga penonton dengan brutal. Eh, kenapa jadi ngomongin Koya Pagayo, mungkin saya rindu dengan film-film horor beliau atau karena “The Pyramid” memang jadi mengingatkan saya dengan film horor lokal yang mengandalkan suara-suara berisik berlebihan.
“The Pyramid” bakal mempertemukan kita dengan tim arkeolog ayah-anak, Nora (Ashley Hinshaw) dan Holden (Denis O’Hare). Keduanya baru saja menemukan sebuah piramida tiga sisi (berbeda dengan piramida pada umumnya yang punya empat sisi) yang tertimbun dalam pasir. Penasaran dengan isi di dalam piramida temuan mereka, Nora dan Holden pun memutuskan untuk masuk, ditemani oleh tim pembuat film dokumenter Sunni (Christa Nicola) dan Fitzie (James Buckley) yang bertugas merekam semua kejadian. Well, kita tahu masuk dalam piramida tersebut adalah kesalahan, tapi sama penasarannya dengan mereka, kita juga tak mau hanya diam saja di luar piramida, kita juga ingin masuk. “The Pyramid” agak kurang percaya diri dengan apa yang mereka miliki, Grégory Levasseur bisa saja membuat film horor yang benar-benar mengasyikkan, film ini punya potensi itu. Masalah kepercayaan diri inilah yang kemudian membuat “The Pyramid” hancur oleh dirinya sendiri. Padahal film ini punya setting yang menjanjikan, ruangan di dalam piramida yang gelap, lorong sempit berlika-liku bagai labirin tak berujung dan dinding batu penuh dengan simbol yang memperingatkan “bodoh, lo sedang mengantarkan nyawa lo” seperti itulah kira-kira. Sayangnya Grégory, walaupun di awal film sudah tepat melangkah, tapi seakan tersesat begitu sampai di tengah film dan makin kebingungan menemukan jalan keluar dari filmnya sendiri.
“The Pyramid” dibuka dengan meyakinkan, saya bisa merasakan ketegangan itu langsung menggerogoti sekujur tubuh begitu berada di dalam piramida. Atmosfir mencekam pun kian mencengkram saat Grégory menyeret penonton lebih dalam masuk melewati lorong-lorong gelap nan sempit. Serasa sesak kehilangan nafas, ditambah kita tidak tahu apa yang menanti di ujung lorong, perasaan ketakutan pun bercampur dengan bingung. Grégory berhasil membangun momentum pada paruh awal, “The Pyramid” sedang berada di jalur yang benar sampai akhirnya tiba saatnya untuk film ini memberikan penonton kejutan-kejutannya. Beberapa jump scare-nya menyenangkan, walaupun memakai trik lama tapi saya maklumi, setidaknya daya kejutnya masih bisa membuat saya sedikit mengeluarkan kata-kata kasar. Semua tidak bertahan lama, momentum yang sudah dibangun “The Pyramid” justru semakin runtuh, dimulai sejak film mulai seenaknya menekan-nekan tombol sound effect untuk mengagetkan penonton. Trik-triknya pun mulai terlihat membosankan dan terasa semakin lemah untuk memberikan daya kejut seperti di awal. Seketika “The Pyramid” kehilangan daya tariknya, walaupun ada adegan-adegan gore, saya tak banyak peduli. Semakin misterinya terungkap, film makin mengungkap kebodohannya, tidak saja dari segi ceritanya yang mengada-ngada tapi juga setiap karakternya yang tak satupun terlihat pintar. Bagaimana dengan kemasan found footage-nya? Lupakan saja, karena sama bodohnya.
Rating :