Pertanyaan paling mendasar “apakah filmnya seram?” kemudian terlintas sesaat setelah credit title mulai menggulung layar bioskop. Sebelum orang lain bertanya pendapat saya tentang film horor yang baru saja saya tonton, saya memang suka iseng bertanya pada diri sendiri, “apakah filmnya seram?”. Well, jika pertanyaan tersebut tertuju kepada saya, jawabannya sudah pasti “Angker” itu seram.
Untuk ukuran film horor lokal, “Angker” seperti sebuah pelepas rindu, saat saya kangen ingin menonton film horor Indonesia yang bisa menakut-nakuti saya di bioskop. Namun kata seram itu relatif, balik lagi pada masing-masing penontonnya, untuk saya yang memang penakut, “Angker” jelas sudah sukses membuat mulut ini jadi kotor, penuh kata sumpah-serapah (dalam artian yang positif) efek instant dari rasa girang karena sudah ditakut-takuti.
Untuk orang yang ke bioskop untuk cari “takut”, tentu saja saya senang ketika menemukan rasa takut itu di “Angker”. Jadi seram atau tidaknya sebuah film horor, selalu kembali ke individunya, buat saya film ini seram tapi belum tentu orang lain, bisa saja malah membosankan.
Sesuai judulnya yang se-simple “Angker” bukan “Hantu Penunggu Odong-Odong” atau judul bodoh semacam “Setan Narsis Doyan Selfie”, konsep yang dibagikan oleh Muhammad Yusuf lewat film horornya juga sesederhana judulnya. Premis yang diusung pun sederhana, Ratna (Lia Waode) dan keluarganya pindah rumah ke daerah Bangil Jawa Timur, kemudian mereka dihantui sosok nenek berwajah pucat. Yah, hantu nenek-nenek yang belakangan diketahui bernama Mbah Tun tersebut tampaknya tidak senang dengan kehadiran penghuni baru di rumahnya.
Untuk segi penceritaan, “Angker” memang bakal terlihat begitu lemah, termasuk tak banyak yang diceritakan mengenai keluarga Ratna, hanya sepotong-potong yang kita ketahui tentang keluarga baru penghuni rumah yang katanya angker tersebut. Banyak detil yang tampaknya dikurangi, karena “Angker” harus berbagi dengan bagian yang mengupas horor, toh sekali lagi saya sedang menonton film horor bukan drama.
Ketika saya bilang lemah bukan berarti cerita “Angker” saya bilangngasal, ceritanya sudah cukup menopang muatan horornya, terlebih film ini penuh elemen lokal yang membuat “Angker” jadi Indonesia banget. Jadi saya bisa kesampingkan kekurangan film ini dalam segi bercerita, karena tujuan film ini bukan untuk menyajikan dongeng sebelum tidur, tapi menjejalkan mimpi, yah tentu saja mimpi buruk dengan rasa lokal yang sangat kental.
Saya menyukai “Angker” bukan saja karena film ini sudah mampu mengantarkan perasaan yang saya inginkan ketika menonton sebuah film horor, tapi juga ketika rasa takut dan perasaan mencekam itu tercipta tidak serba instant tapi melalui proses yang dibangun sejak awal film. Proses itulah yang membuat saya tak saja senang tapi juga puas saat “Angker” berhasil menakuti, karena saya menikmati bagaimana film ini membangun rasa takut itu perlahan-lahan. Mulai dari rumah sampai nantinya kita dipertemukan dengan sosok Mbah Tun.
Muhammad Yusuf tahu men-treatment rumah tidak saja sebagai sebuah setting belaka, rumah yang ditempati Ratna-lah yang jadi pondasi horor di film ini. “Ini film rumah berhantu, mari kita bikin penonton takut sama rumahnya, dulu”, mungkin itulah yang ada di benak Muhammad Yusuf, ingin penonton juga ikut merasakan apa yang Ratna rasakan, ikut tidak nyaman dengan penampakan rumah.
Maka sebelum film ini memperkenalkan karakter manusianya, Yusuf memilih untuk menyeret saya dan penonton lain untuk mengenal rumah dan tiap sudutnya. Membiarkan penonton untuk menumpuk rasa penasaran dan ketakutannya, cara Yusuf terbukti bekerja dengan baik, rasa cekam dan atmosfir tidak mengenakan mulai mengerubungi, padahal kita belum diperlihatkan penampakan apa-apa. Rumah di “Angker” jadi punya peranan penting dalam membangun keseluruhan horor di film ini.
Di setiap film horor yang saya review, saya selalu menyinggung film horor bagus menurut saya adalah film yang mampu membuat kita ketakutan sendiri sebelum penampakannya muncul. Nah, “Angker” melakukan itu, dengan membiarkan kita menciptakan ketakutan dan penampakan itu dalam kepala sendiri. Sekali lagi ini berkat kesabaran Yusuf dalam mengesekusi “Angker”, sejak awal film ini sudah terlihat tidak terburu-buru dalam urusan membangun atmosfirnya.
Seperti apa yang pernah dilakukannya di “Kemasukan Setan”, Yusuf memberi banyak waktu untuk saya merasakan atmosfir yang dia bangun, lewat rumahnya, melalui akting dan raut wajah pemainnya, serta pergerakan kamera yang sengaja diposisikan sedemikian rupa untuk satu tujuan, yaitu membuat penonton penasaran ketika melihat sosok samar-samar dan ketakutan sendiri ketika melewati lorong gelap. Yusuf tahu bagaimana mengendalikan ketakutan penontonnya, dia tahu kapan waktu yang tepat untuk pada akhirnya “ci-luk-ba” dan saya pun teriak “anjing!”.
“Angker” tak perlu hantu yang menampakan diri setiap 5 menit, karena atmosfir yang dibangun Yusuf sudah punya dosis yang cukup untuk bikin saya merinding. Walau dengan penampakan hantu Mbah Tun yang hanya diam saja bermodalkan riasan minimalis, seramnya jadi combo. Mbah Tun tidak saja seram, tapi menurut saya sangat ikonik, sudah lama kita tidak punya film horor dengan hantu ikonik macam sundel bolong-nya Suzanna.
Muhammad Yusuf lewat “Angker”-nya tidak saja membuktikan bahwa dirinya jago dalam urusan menakuti-nakuti, tapi juga mampu maenin rasa takut. Jadi tidak sabar menunggu film horor berikutnya dari Muhammad Yusuf, dan semoga saya tidak bermimpi bertemu Mbah Tun.
Rating :