Hercules garapan Brett Ratner adalah bukti bahwa Hollywood masih belum bosan merekonstruksi ulang cerita klasik dengan tokoh fiksi ikonik di dalamnya yang telah melekat di benak khalayak ramai. Seperti para sedulur yang mengambil jalur serupa – katakanlah yang terhangat, Maleficent – film pun memulai penceritaannya dengan sebuah pertanyaan bernada menantang untuk penonton, “apakah kamu betul-betul yakin telah mengetahui semua kebenaran tentang cerita ini?”. Dengan pembuka semacam ini, tentu bisa langsung diketahui apa yang bisa penonton harapkan mengingat Ratner tidak akan mencelotehkan mitologi Yunani Kuno melalui cara yang sudah akrab di telinga kita. Kenyataan ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa Hercules yang dimaksud di film ini berasal dari tokoh gubahan Steve Moore untuk novel grafisnya yang diterbitkan oleh Radical Comics, The Thracian Wars dan The Knives of Kush.
Dan memang, Hercules milik Dwayne Johnson (atau kita kenal juga sebagai The Rock) ini bukanlah sosok demigod, putra hasil hubungan terlarang Dewa Zeus dengan seorang perempuan, berkekuatan melebihi manusia pada umumnya melainkan tidak lebih dari pemimpin sekelompok tentara bayaran yang terdiri atas peramal Amphiaraus (Ian McShane), pelempar pisau yang handal Autolycus (Rufus Sewell), mantan prajurit yang kejiwaannya terganggu Tydeus (Aksel Hennie), pemanah sekaligus perempuan satu-satunya Atalanta (Ingrid Bolsø Berdal), dan keponakan Hercules yang jago dalam urusan bersilat lidah lolaus (Reece Ritchie). Untuk mendapatkan pekerjaan demi menyambung hidup, Hercules dan konco-konconya ini pun mengandalkan Iolaus yang pandai merangkai kata-kata soal kisah kehebatan Hercules utamanya saat menaklukkan 12 misi berbahaya pemberian Hera, istri Zeus yang membencinya, meski kenyataan sesungguhnya Hercules hanyalah pria biasa dengan masa lalu kelam.
Bagi penonton yang sedari awal telah menetapkan ekspektasi untuk memperoleh suguhan fantasi mewah yang di dalamnya mengandung tuturan kisah seputar mitologi Yunani kuno lengkap beserta lanskap epik, dewa-dewi Yunani, maupun pertarungan habis-habisan melawan monster, bisa jadi akan memberengut kecewa. Selain di prolog, kemegahan yang pernah pula dimunculkan lewat Clash of the Titans (dan sekuelnya) ini tak pernah lagi benar-benar menghiasi layar. Gelaran sword-and-sandal dipertontonkan sebagai film kolosal belaka tanpa embel-embel fantasi di belakangnya. Ada penjelasan yang lantas dijabarkan oleh si pembuat film terhadap setiap kegilaan yang ada. Sebisa mungkin si tokoh utama ditampilkan manusiawi tanpa mencoba mengkultuskannya bak legenda tak terkalahkan. Sebuah percobaan yang berani, bahkan lantaran pergeseran ini film berjalan agak tertatih-tatih di permulaan film seolah tidak memiliki energi yang cukup kuat untuk membuat penonton bersemangat mengikuti tuturan kisahnya.
Akan tetapi, seiring bergulirnya durasi, Hercules mulai menemukan ritmenya. Walau jalur yang ditempuhnya tergolong klasik, kelokan dalam alur yang penuh intrik dibubuhkan tim peracik skrip menghidupkan kembali semangat yang sebelumnya sempat memudar. Naskahnya memang tidak istimewa, namun masih berhasil memberi beberapa sentuhan dramatis maupun kesenangan berbentuk humor dan pertempuran seru dengan kadar mencukupi di sejumlah adegan. Kejenuhan yang kemunculannya sempat diantisipasi pun berhasil terhindarkan. Bagusnya lagi, Ratner pun bisa memaksimalkan kucuran dana sebesar $100 juta dari studio sehingga kesan ‘grande’ dalam bangunan set dan adegan peperangannya berhasil diciptakan, membuatnya tampak superior dibanding The Legend of Hercules-nya Kellan Lutz yang terlihat ala kadarnya bak film khusus tayangan televisi ataudirect-to-video. Sebagai sebuah hiburan pengisi waktu luang, Hercules sama sekali tidak mengecewakan. Bolehlah buat dicoba.
Rating :