Asumsi tentang bagaimana manusia hanya menggunakan 10% dari kapasitas otaknya memang menarik untuk menjadi perbincangan, terutama dalam bentuk film. Setelah Limitless (2011), dibintangi Bradley Cooper, mengapungkan wacana tentang kemampuan manusia jika memakai lebih dari 10% kapasitas otaknya, kini ada Lucy, sebuah film karya Luc Besson (La Femme Nikita, Léon: The Professional, The Fifth Element) yang memiliki aspek tematis serupa. Tapi, di tangan Besson, Lucy sanggup mengakses 100% kemampuan otaknya dan hal tersebut membuatnya menjadi individu dengan kekuatan tak terbatas.
Lucy diperankan oleh Scarlett Johansson. Tak usah diragukan lagi kemampuan dirinya untuk menjadi penggerak utama film. Johansson membuktikan jika ia bisa tampil sama baiknya sebagai karakter ala film popcorn ataupun art-house. Captain America 2 dan Under The Skin adalah dua film terbaru Johansson yang dapat menjadi pembuktian. Seakan tidak cukup, ia meleburkan dua arketipe tersebut dalam Lucy.
Lucy adalah seorang perempuan biasa yang terjebak dalam situasi tak biasa. Ia terpaksa menjadi penyelundup narkoba jenis baru yang disusupkan dalam tubuhnya oleh gangster Korea, Mr. Jang (Choi Min-sik, Oldboy, The Admiral: Roaring Currents). Sebuah "kecelakaan" membuat paket narkoba tersebut bocor dan mengubah dirinya menjadi sosok dengan kekuatan di luar ambang batas manusia pada umumnya.
Selain berniat membalas dendam terhadap sosok-sosok yang telah mencelakai dirinya, Lucy juga mencari tahu akan karateristik yang baru disandangnya, termasuk saat ia merasa jika ia mulai kehilangan sisi manusiawi dalam dirinya. Untuk menemukan jawaban, ia pun bertemu dengan seorang ilmuan bijaksana bernama Professor Norman (Morgan Freeman, tentu saja).
Luc Besson adalah sutradara dengan visi yang terkadang agak sulit dipetakan. Ia bisa tampil subtil seperti yang ditunjukkannya dalam Léon, extravaganza dalam The Fifth Element, atau komedi yang mudah dilupakan dalam The Family. Dalam Lucy ia mencoba gaya yang baru lagi.
Tentu saja di awal film, ia tampil layaknya film-film Luc Besson, editing yang cepat memadukan antara aksi-laga seru dengan kekerasan yang berdarah-darah dan berbalut komedi ringan. Namun, memasuki paruh akhir, ia bermetamorfosa menjadi sebuah sajian visual yang filosofis (kredit lebih untuk sinematografer Thierry Arbogast yang mempersembahkan gambar-gambar cantik dan menawan). Aksi-laga masih ada di sana, tapi menjadi tidak penting saat Lucy mencapai tahap manusia super. Atmosfir film berubah menjadi super-serius.
Mr. Jang yang awalnya diperlihatkan sebagai karakter yang mengancam (Choi Min-sik selalu bisa diandalkan dalam aspek ini), berkembang menjadi sosok marginal dalam struktur ceritanya. Ia menjadi terpinggirkan saat Lucy dan pencariannya akan eksistensi menjadi topik utama. Tentu saja, dengan kekuatan seluar biasa itu, siapa lagi yang bisa menjadi ancaman bagi Lucy?
Menarik saat Besson memilih untuk semakin mengurangi sentuhan aspek humanis saat film bergulir. Adegan Lucy menelepon ibundanya merupakan salah satu momen subtil dalam film, tapi juga merupakan adegan terakhir dengan sentuhan manusiawi di dalamnya. Saat Lucy semakin menuju taraf adikodrati, semakin lepas pula film dari hal-hal yang berbau emosi manusia, meski ia kerap mengapungkan konsep tentang humanitas dan eksistensinya. Ambiguitas ini yang membuat Lucy menjadi istimewa.
Dari segi plot, Lucy mencurangi beberapa aspek logika dan menimbulkan banyak lubang menganga yang bisa mengganggu kenikmatan saat menyaksikannya. Akan tetapi, saat film pada akhirnya memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensialisme tadi, cerita yang koheren menjadi tidak penting lagi. Lucy kemudian menunjukkan jati diri yang seutuhnya, sebuah pengalaman akan perjalanan kontemplatif ketimbang menembak aksi laga fantastis semata.
Lucy mungkin bisa menjadi awal dari mitologi akan sosok super-hero baru. Potensi untuk itu ada. Tapi Besson tampaknya lebih tertarik untuk menjadikan Lucy untuk menyampaikan konsep filosofis tentang hidup, terlepas apakah konsep yang diapungkan dalam film valid secara ilmiah atau tidak. Dan itu membuat Lucy tampil lebih "eksentrik" ketimbang film aksi-laga-fantasi biasanya.
Rating :