Sepanjang sejarah film, bencana menjadi objek yang sering diangkat. Sudah banyak film-film bertema bencana yang kemudian populer dan kemudian menjadi bagian dari kebudayaan populer. Sebut saja The Last Days of Pompeii (1935), Airport (1970), The Poseidon Adventure (1972), Earthquake (1974) The Towering Inferno (1974), Titanic (1997), atau Armageddon (1998).
Tapi berbicara tentang bencana angin tornado, tentunya tidak bisa tidak lepas dari film Twister (1996) yang berkisah tentang sekelompok ilmuan pengejar tornado. Film arahan Jan de Bont (Speed) tersebut sukses menjadi salah satu film terlaris di dekade 90-an dan bahkan menjadi idiom kontemporer akan bencana tornado.
Dua dekade kemudian, muncullah Into the Storm yang mungkin jawaban akan film bertema bencana tornado untuk generasi millennium. Ditandai dengan gaya found footage, Into the Storm akan mengajak penonton secara lebih lekat dengan ganasnya angin puting beliung yang meluluh lantakkan kawasan (beserta orang-orangnya) yang dilintasinya.
Pendekatan ala mockumentary ini tujuannya jelas agar sensasi kedahsyatan tornado terasa lebih realistis dan pada akhirnya memberi efek kengerian yang lebih nyata. Dan untuk itu Steven Quale sebagai sutradara sukses dalam menjalakan misinya.
Dengan didukung oleh efek khusus yang juara, tornado yang ditampilkan dalam Into the Storm benar-benar membuat emosi terkuras. Meski rasa-rasanya dari segi ilmiah masih bisa dipertanyakan validitasnya, namun film sukses mengeksploitasi tornado menjadi semacam monster yang mengerikan dan mengancam. Setiap kemunculannya para tornado (yep, plural) berhasil membuat penonton bergedik ngeri dan ketakutan.
Sayangnya Into the Storm terlalu fokus pada tornado itu sendiri hingga terlupa jika karakter-karakter manusia dalam film bencana itu juga penting. Manusia dalam film bencana tidak hanya berperan sebagai korban, akan tetapi juga sebagai refleksi akan diri penonton agar merasa terhubung dengan kengerian yang tengah terjadi.
Kenapa Titanic atau The Poseidon Adventure atau bahkan Twister berhasil? Karena mereka memiliki karakter-karakter khas dengan konflik yang kuat dan kedalaman yang cukup agar penonton merasa lekat dengan mereka.
Pada akhirnya bencana hanya menjadi alas untuk esensi utamanya, yaitu inter-relasi manusia yang terjebak dalam situasi yang membuat mereka harus melakukan apa saja untuk bertahan hidup dan menjadi seorang penyintas bencana. Hal ini tidak kita temui dalam Into the Storm.
Karakter-karakter dalam film, seorang guru (diperankan oleh Richard Armitage dari trilogi The Hobbit) yang memiliki jarak emosi dengan dua anak laki-lakinya sepeninggal sang istri, serta kelompok ilmuan pemburu tornado dengan kepentingan masing-masing, hadir dalam dua dimensi. Karakter mereka yang arketipikal tidak memiliki kedalaman dan bergerak dalam arch yang tertebak, sehingga sulit untuk merasa peduli dengan rasa takut mereka.
Pendekatan mockumentary-nya juga tidak konsisten. Pada awalnya film setia dengan konsep ini, namun pada akhirnya tutur cerita yang lebih tradisional mendominasi visual, yang mungkin juga karena Quale sulit untuk menahan godaan agar filmnya tampil dengan lebih sinematis.
Tapi terlepas dari itu, sebagai film hiburan, jelas Into the Storm menjalankan tugasnya dengan baik. Kita akan tersedot dalam pusaran intensitasnya. Dan saat film berakhir, kita akan merasa bersyukur jika kejadian tadi hanya terjadi di film.
Rating :