Saban tahun, terhitung sejak Liburan Seru! di tahun 2008, Alenia Pictures tak pernah absen mempersembahkan karya untuk mengisi liburan sekolah yang menyasar pangsa pasar keluarga (khususnya anak-anak). Sarat akan pesan moral, menghibur, serta berhiaskan panorama alam Indonesia yang amboi cantiknya adalah ciri khas utama film-film dari rumah produksi kepunyaan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen ini yang telah ditampakkan dari era Denias, Senandung di Atas Awan hingga Leher Angsa. Lewat rilisan terbaru mereka yang dirilis bertepatan dengan momen Idul Fitri, Seputih Cinta Melati, kekhasan itu tetap dipertahankan. Yang membedakan, untuk sekali ini, Alenia menjajal bermain di ranah reliji yang belum pernah mereka sentuh sebelumnya. Hasilnya? Bolehlah Seputih Cinta Melati ini disebut sebagai salah satu film terbaik milik Alenia setelah beberapa karya terakhir terbilang mengecewakan.
Membawa penonton ke wilayah Ciwidey, Jawa Barat, penonton diperkenalkan kepada kakak beradik, Rian (Fatih Unru) dan Melati (Naomi Ivo), yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan seperti layaknya anak-anak kebanyakan, keseharian keduanya pun tak jauh-jauh dari sekolah, belajar, serta bermain. Terbiasa ditinggal sendirian oleh sang ibu, Andini (Sabai Morscheck), bekerja di pabrik teh, Rian dan Melati kerap mendatangi sebuah pondok tua di tepi danau guna mengerjakan tugas sekolah maupun sekadar memancing. Suatu hari, sebuah kecelakaan kecil yang menimpa Melati memertemukan kakak beradik ini pada dua narapidana, Ivan (Chicco Jerikho) dan Erik (Asrul Dahlan), yang menyamar sebagai ‘Bapak Haji’ menggunakan gamis. Berterima kasih, keduanya lantas sering mengunjungi Ivan dan Erik di pondok tersebut tanpa mengetahui identitas sesungguhnya dari si penolong hingga lambat laun persahabatan di antara mereka pun terbangun.
Pesan yang ingin dihantarkan oleh Ari Sihasale lewat Seputih Cinta Melati jelas, soal persahabatan dan kekeluargaan. Menilik putihnya hati, tulusnya niat anak-anak saat memutuskan merangkai tali persahabatan tanpa dilandasi syarat maupun prasangka apapun. Penonton cilik diminta meneladani polah tingkah Rian dan Melati yang dipenuhi kebajikan, sementara penonton dewasa dipersilahkan untuk berkaca – menyadari betapa ketulusan yang dulu dimiliki kala masih kanak-kanak perlahan tapi pasti tergerus oleh usia, lingkungan sekitar, dan perkembangan zaman. Gagasan menarik ini lantas diolah oleh Armantono sebagai skrip untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa gambar secara cantik oleh Ari Sihasale. Pilihan yang ditempuhnya dalam menghantarkan kisah cenderung beresiko: setapak demi setapak. Ini dimaksudkan untuk membangun emosi, interaksi antar karakter, dan dramatisasi diSeputih Cinta Melati. Hanya saja, pola penuturan yang terbilang lamban ini berpotensi bikin jenuh penonton khususnya penonton cilik yang tentunya mengharap lebih banyak keseruan.
Untungnya, setelah tahapan awal yang kurang mulus, film berangsur-angsur membaik. Dua hal yang berkontribusi besar terhadap apiknya Seputih Cinta Melati adalah performa dari departemen akting dan ilustrasi musik. Seringkali dihadapkan pada kesunyian dan situasi minim letupan, Aghi Narottama dan Bemby Gusti ‘meramaikannya’ melalui musik. Memberikan penghidupan pada sejumlah adegan sekaligus mempertajam aroma emosi. Begitu pula dengan para pemain yang berlakon di sini yang mampu memberikan greget lebih pada film. Dari Chicco Jerikho, Asrul Dahlan, Sabai Morscheck, sampai Yayu AW Unru (pemeran Pak Haji), kesemuanya memberi penampilan yang baik. Akan tetapi, bintang sesungguhnya dari Seputih Cinta Melati adalah duo cilik Fatih Unru dan Naomi Ivo yang bermain kompak, unyu-unyu menggemaskan, dan natural. Sulit mempercayai keduanya baru pertama kali ini unjuk kemampuan akting. Ekspresi yang ditunjukkan oleh keduanya pada klimaks film, layak diganjar piala. Berkat mereka, bersama iringan musik mengharu biru, tahapan ini pun mencengkram kuat, mengoyak emosi, dan sulit dilupakan begitu saja. Mempesona.
Rating :