Raditya Dika telah curhat colongan seputar kisah asmaranya yang apes secara berturut-turut lewat Kambing Jantan, Cinta Brontosaurus, Cinta Dalam Kardus, hingga Manusia Setengah Salmon. Melalui garapan terbarunya yang sekaligus menandai debutnya sebagai sutradara film panjang, Marmut Merah Jambu, (lagi-lagi) Dika berkisah mengenai kehidupan percintaannya yang dirundung sial. Hanya saja, selayaknya Manusia Setengah Salmon, Marmut Merah Jambu tidak memberatkan seluruh isian penceritaan dengan asmara penuh duka lara tetapi juga mengupas tentang pertemanan, keluarga, dan sedikit memberikan sentuhan misteri ke dalamnya. Inilah yang menjadikan film terasa lebih mengikat. Menariknya lagi, Dika turut menyemprotkan aroma nostalgia SMA dalam Marmut Merah Jambu yang akan membuat penonton manapun (yang telah melewati masa-masa ini) membongkar setumpuk kenangan yang tersimpan indah (maupun pahit) di ingatan.
Saat gadis yang dulu ditaksirnya saat SMA, Ina, hendak melangsungkan pernikahan, Dika (Raditya Dika) pun mengunjungi rumahnya dengan maksud memberi ucapan selamat sekaligus perpisahan. Tak bertemu secara langsung dengan Ina, Dika justru disambut oleh Bapak Ina (Tio Pakusadewo) yang membuat Dika mengilas balik masa lalunya untuk menceritakan awal mula perjumpaannya dengan Ina. Guliran kisah pun lantas melempar penonton kembali ke masa SMA dari Dika (Christoffer Nelwan) yang, yah... mengenaskan. Bersama dengan sang sahabat, Bertus (Julian Liberty), keduanya tergabung ke dalam kelompok siswa terbuang. Keberadaan mereka di sekolah nyaris tak terdeteksi. Termotivasi untuk menjadi populer dan mendapat pengakuan, Dika dan Bertus pun menciptakan grup detektif yang belakangan diramaikan pula oleh Cindy (Sonya Pandarmawan). Seolah tanpa kesulitan berarti, ketiganya mampu memecahkan beragam kasus di sekolah yang berdampak pada terangkatnya status sosial mereka. Dengan misi menjadi populer tercapai, kebahagiaan seharusnya menaungi mereka hingga Bertus dan Cindy menyadari misi utama Dika menciptakan grup detektif ini.
Salah satu yang menjadi letak kekuatan dari karya-karya Raditya Dika adalah kesederhanaan dan kejeliannya dalam mengulik problematika yang lekat dengan pengalaman kebanyakan orang dengan ruang lingkup permasalahan yang hanya berkisar pada asmara, keluarga, dan persahabatan. Dibumbui humor yang menjadikannya memiliki cita rasa gurih, Dika tidak memilih orang lain sebagai korban candaan, melainkan tanpa rasa sungkan mengajukan diri sendiri untuk ditertawakan. Inilah yang membuat film komedi milik Raditya Dika terasa berbeda dari kebanyakan rilisan lokal, penonton diminta memiliki kebesaran hati agar bersedia menertawakan diri sendiri (dan Dika tentunya!). Sulit? Tidak juga. Walau ini berdampak kepada guyonannya yang sulit dicerna oleh sebagian penonton. Dalam Marmut Merah Jambu, Dika mengajak kita mengenang masa SMA, bertanya kepada diri sendiri perihal seberapa tinggi kepopuleran kita kala itu, lalu menertawakannya. Menyelami kehidupan remaja SMA menggunakan kacamata siswa terpinggirkan menjadikan film terasa mengasyikkan sekaligus membumi.
Faktor lain yang memiliki pengaruh terhadap segarnya Marmut Merah Jambu disamping tatanan skripnya yang lezat adalah pemilihan cast yang tepat. Untuk sekali ini, Dika tak menanggung beban sendirian dalam menggerakkan poros cerita. Dia mendapat bantuan dari Christoffer Nelwan, Julian Liberty, Sonya Pandarmawan (mantan personil JKT48), serta Tio Pakusadewo yang masing-masing menyuguhkan performa yang menawan. Trio remaja Christoffer-Julian-Sonya mampu menunjukkanchemistry yang terasa begitu padu, meyakinkan, dan kocak. Bahkan saat ketiganya sedang tidak bersama, mereka berhasil tampil secara santai, seolah tanpa beban, dan lepas. Kejenakaan yang dimiliki oleh karakter yang mereka emban pun tersalurkan dengan cara yang begitu natural, tanpa pernah terlihat bersusah payah agar terkesan lucu, terutama untuk Christoffer Nelwan dan Julian Liberty (yang begitu mencuri perhatian di setiap kemunculannya).
Dengan sokongan jajaran pemain yang solid, ditambah pula Raditya Dika begitu leluasa dalam menghantarkan gagasan-gagasannya dengan peranannya yang begitu besar di balik kemudi, maka tidak mengherankan Marmut Merah Jambu terasa lebih superior dan memiliki greget ketimbang film-film Dika yang terdahulu. Ada kejenakaan dan kehangatan yang ditimbulkan saat film menyoroti persahabatan Dika bersama sahabat-sahabatnya di SMA, ada rasa manis saat sisi romansa dari film timbul menyeruak, dan ada gemas-gemas penasaran saat sebuah kasus dilempar kepada grup detektif untuk dipecahkan, yang lantas dipersatukan oleh Dika dengan lancar menggunakan ramuan yang tepat. Alhasil, Marmut Merah Jambu pun terhidang sebagai sebuah tontonan yang unyu-unyu menggemaskan. Penggemar berat Dika akan terpuaskan, sementara mereka yang berasal dari barisan bukan penggemar akan tetap mampu menikmatinya. Asyik!
Rating :