Premis yang diusung “Smiley” bisa dibilang adalah produk lama, dengan bungkus yang lebih modern, filmslasher yang memanfaatkan teknologi dalam usahanya men-sharing teror. Sudah jadi rahasia umum jikainternet tidak saja berisi yang baik-baik, tetapi juga tempat bersarangnya kejahatan, salah gaul di situs jejaring sosial bisa berujung penculikan atau pembunuhan. Cerita-cerita seram tersebut tampaknya menginspirasi lahirnya ide sebuah film horor yang memakai media internet sebagai area permainannya. Sadako di film terbarunya tak lagi tiba-tiba muncul dari televisi, tapi memangsa korban baru lewat komputer, video kutukan yang terkenal itu sekarang menyebar secara online. Saya akui, ide memunculkan hantu berambut iklan sampo berdaster putih-putih dari layar komputer adalah sesuatu yang masih baru, tapi ide tersebut sekaligus menghancurkan leburkan sebuah legacy, sebuah image dan sebuah icon. Alih-alih menyeramkan, “Sadako 3D” justru menggelikan, film tersebut membuat wajah Sadako memerah, merah karena menahan malu. “Smiley” tak jauh beda, sejak awal premisnya pun diakui tak meyakinkan, ditambah esekusinya yang terbilang buruk, “Smiley” tampaknya malah akan membuat topeng tersenyum yang dipakai sang pembunuh berubah menjadi topeng cemberut, manyun, atau bahkan menangis.
Ketik ‘I did it for the lulz’ tiga kali ke teman chatting, maka Smiley akan tiba-tiba muncul dari belakang dan menggorok leher orang yang dikirim pesan tersebut. Syaratnya, sebelum mengetikkan kata kunci untuk mengudang Smiley, kita harus membayangkan lawan chatting kita mati terbunuh. Hmmm si Smiley tampaknya terinspirasi oleh legenda Bloody Mary dan film horor “Candyman”, memboyong keduanya ke ranah internet dan menciptakan mitos mengerikan versinya sendiri. Well, mungkin inilah film bertema pembunuh bertopeng terburuk yang pernah saya tonton, lebih buruk dari remake “Texas Chainsaw” atau bahkan “Pengantin Topeng”milik Awi Suryadi. Padahal 5 menit pertama, saya sudah berhasil untuk diyakinkan jika “Smiley” tampaknya bakal mengasyikkan, kali ini tebakan saya agaknya meleset dan ternyata lima menit pertama itulah bagian terbaik dari film yang disutradarai oleh Michael Gallagher ini. Skrip yang buruk dan esekusi yang lebih buruk lagi jadi penyebab “Smiley” sangat gagal di mata saya. Walaupun film ini kemudian mencoba memperbaiki kesalahan dengan menyempilkan sebuah ending yang tak terduga, saya sudah terlanjur menutup mata tidak peduli.
“Smiley” mencoba untuk membangun legenda baru dengan cara yang mengada-ngada, berupaya meyakinkan saya untuk percaya jika si pembunuh bertopeng ini memang ada, namun penyajiannya sama sekali tak meyakinkan sekaligus sangat menyebalkan. Wajar jika kemudian saya tidak peduli “Smiley” mau apa, layaknya kedua polisi yang didatangi oleh Ashley (Caitlin Gerard) yang sama sekali tidak peduli ketika Ashley begitu ketakutan menceritakan tentang Smiley, tertawa dan malah menyebut Ashley gila. “Smiley” adalah tipikal horor yang asyik sendiri, 95 menit durasinya dihabiskan untuk meyakinkan saya bahwa Ashley benar-benar gila dan bukannya berbagi ketakutan Ashley ke penonton. “Smiley” justru malah asyik berputar-putar menjelaskan keberadaan si pembunuh bertopeng, film ini penuh dengan teori omong kosong. Alih-alih menyajikan aksi-aksi berdarah yang biasa ada di film-film slasher pada umumnya, “Smiley” malah terlihat amat sibuk seperti mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyelesaikan skripsinya.
Sederhananya “Smiley” terlalu ingin terlihat sebagai horor slasher pintar, namun lupa untuk bersenang-senang, terlalu sibuk menjejalkan penonton dengan teori-teori omong kosong yang membosankan, alhasil banyak durasi yang tampaknya terbuang sia-sia untuk sesuatu yang saya tidak inginkan. Cara film ini mengejut-ngejutkan penontonnya pun terbilang basi, parahnya Smiley tak pernah belajar dari kesalahannya dan terus melakukan hal-hal bodoh yang membuat saya ingin ikut menggorok lehernya. Dengan karakter pembunuh bertopeng yang tak becus melakukan pekerjaannya untuk menghibur penonton, “Smiley” sudah jauh lebih dulu berakhir sebelum filmnya betul-betul berakhir, ditambah karakter-karakter di film ini tak ada satupun yang bisa diandalkan, termasuk Ashley yang kerjanya hanya tampak bodoh di depan kamera dan Zane (Andrew James Allen), karakter yang memang disiapkan untuk membuat film ini makin tidak meyakinkan. Tanpa adegan horor yang layak disebut horor, pada akhirnya “Smiley” hanya tersenyum sendiri dengan kebodohannya—dari karakter hingga dialognya—sedangkan kita yang menontonnya hanya bisa dibuat kecewa dan manyun hingga dua hari.
Rating :