Ada semacam perjanjian tak tertulis yang lantas dipatenkan oleh para petinggi di Hollywood sebagai formula pencipta kesuksesan sebuah sekuel film superhero; cakupan skala yang lebih masif, villain yang lebih beringas (dan kalau perlu, lebih banyak), tuturan kisah yang lebih kompleks njelimet, dan bubuhan heart factor ke dalam penceritaan (meski ini tak selalu ada). Intinya, membawa standar yang telah ditetapkan oleh jilid sebelumnya ke tingkatan lebih tinggi demi memunculkan kesan fantastis dan bombastis. Berlandaskan pada fakta bahwa The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro adalah sebuah film kelanjutan, maka Marc Webb pun memberi perlakuan yang kurang lebih sama untuk film ini. Memikul beban berat usai kesuksesan jilid pertama dari sisi finansial maupun ulasan, Webb menghidangkan Rise of Electrosebagai sebuah sajian yang lebih besar, lebih padat, lebih berisik, dan lebih emosional dari sebelumnya. Tapi apakah ini berarti lebih baik dari The Amazing Spider-Man? Let’s see.
Pesan terakhir yang dihembuskan oleh mendiang George Stacy (Denis Leary) ke telinga Spider-Man/Peter Parker (Andrew Garfield) berdampak pada mengusutnya tali percintaan Peter dengan Gwen Stacy (Emma Stone) yang lantas berujung perpisahan. Harapan keduanya untuk rujuk menjadi semakin menipis setelah Peter mendapati kenyataan mantan kekasihnya ini akan bertolak ke Inggris demi menempuh studi.Ouch! Belum juga kekalutan hati Peter mereda, sebuah kebenaran dari masa lalu kedua orang tua Peter mendadak mengemuka dan berbagai ancaman besar dalam bentuk Electro (Jamie Foxx), semacam generator hidup yang dulunya adalah penggemar Spidey yang fanatik, dan Harry Osborn (Dane DeHaan), pewaris OsCorp Industries yang juga kawan lama Peter, menyerbu New York. The Amazing Spider-Man 2 pun lantas menjelma sebagai perjuangan Peter/Spidey dalam mengatasi hubungan rumitnya dengan sang mantan kekasih, mantan penggemar, dan mantan sahabat. Puk puk.
Dan, ya, ini lebih baik dari seri pembuka. The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro tak hanya sekadar lebih besar, lebih gegap gempita, dan lebih emosional, tetapi juga lebih menggelitik, lebih romantis dan dikaruniai skrip yang lebih baik. Memang tidak sampai menyenggol kedudukan Spider-Man 2 milik Sam Raimi sebagai jilid terbaik dari franchise sang manusia laba-laba, tetapi sebagai sebuah sekuel, ini memenuhi setiap ekspektasi yang ditanamkan oleh para penggemar berat serta pecinta film. Sejak menit pembuka, film telah diarahkan ke ranah aksi gila-gilaan tanpa jeda bercampur nuansa thriller dengan terkuaknya misteri tewasnya kedua orang tua Peter yang lantas berlanjut ke Spidey yang bergelantungan diantara gedung-gedung di Manhattan yang tinggi menjulang guna meringkus para pelaku tindak kriminal. Gelaran adegan pembuka ini berhasil memacu rasa penasaran untuk mengetahui apa yang akan Webb tawarkan di jilid kedua ini.
Dengan kucuran dana melampaui $200 juta, sudah barang tentu The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro memertontonkan rangkaian pertunjukkan laga yang intens, dihiasi banyak kehancuran, dan menggelegar. Departemen efek khusus bekerja sama dengan Daniel Mindel di sektor sinematografi, dan duo Pietro Scalia – Elliot Graham dari tata sunting, mampu merakitnya secara mengesankan (utamanya pada bagianweb swinging) dan menunjukkan peningkatan dibanding instalmen pertama. Menjadi semakin hidup dengan iringan skoring musik dari Hans Zimmer dan The Magnificent Six yang memunculkan nuansa epik dan heroik dari film. Ini masih ditambah dengan iringan sejumlah nomor – menjadi favorit saya adalah tembang ‘Gone Gone Gone’ milik Phillip Phillips – yang melebur dengan manis ke dalam sejumlah adegan dan memberikan warna berbeda. Mereduksi sedikit rasa bosan yang sempat membayangi di pertengahan film.
Akan tetapi, tidak peduli seberapa riuh kegaduhan yang ditimbulkan oleh Spidey, Electro, Harry Osborn (yang belakangan bertransformasi sebagai Green Goblin), hingga Rhino (Paul Giamatti), bagian terbaik dari film ini justru terdapat pada sisi melankolisnya. Entah itu saat Peter mendengar paparan fakta menyedihkan tentang kedua orang tuanya dari Aunt May (Sally Field) atau dalam hubungan putus sambung antara Peter dan Gwen yang bergejolak dengan beragam rasa di dalamnya. Tak bisa dipungkiri, keperkasaan The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro memang bersumber dari chemistry pulen yang terjalin antara Andrew Garfield dan Emma Stone. Saat melihat Peter dan Gwen bersanding di satu adegan, ada perasaan gemas, malu, hingga tercabik-cabik – seolah memandangi pasangan yang tengah bermesraan. Kita dibuat benar-benar percaya bahwa kedua tokoh ini nyata adanya. Kita dibuat percaya bahwa mereka tengah menjalin hubungan percintaan yang rumit. Kita dibuat peduli terhadap keputusan sulit yang harus mereka ambil. Dan kita juga dibuat peduli terhadap nasib (tak begitu baik) yang menimpa mereka.
Ya, di balik tampilannya yang serba eksplosif, gigantis, dan sarat akan dialog beraksen humor, The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro justru tampil benar-benar menggigit (dan mencuri perhatian) berkat adanya hati dan dramatisasi dalam pilar penceritaannya. Ditopang oleh chemistry menakjubkan yang dibangun oleh Garfield-Stone, performa meyakinkan yang sepenuh hati dari Sally Field, Jamie Foxx, dan Dane DeHaan, serta tuturan kisah rekaan Alex Kurtzman, Roberto Orci dan Jeff Pinkner yang padat berisi (sekaligus intim!) – yang melebur dengan manis bersama sisi teknis – menjadikan The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro lebih dari sekadar film superhero biasa. Ini jenaka, seru, romantis, mempermainkan emosi, dan menegangkan, walau durasinya agak terlalu panjang. Ketika lampu bioskop dinyalakan, keinginan untuk menyaksikan seri berikutnya pun segera menyerbak. Menyenangkan!
Note : Kecuali Anda menontonnya dalam format IMAX, maka sebaiknya jangan terburu-buru meninggalkan gedung bioskop karena ada bonus adegan tambahan di pertengahan credit title.
2D atau 3D? Sangat, sangat disarankan menonton film ini dalam format 3D.
Rating :