Ulasan ini akan dimulai dengan sebuah pengakuan; Johnny Depp adalah salah satu aktor favorit saya. Mengejutkan? Tentu saja tidak, karena dia adalah favorit dari banyak orang. Tapi pengakuan ini berlanjut ke pengakuan berikutnya (yang mungkin agak mengejutkan); saya sudah jenuh dengan Johnny Depp dan berniat menghapusnya dari daftar aktor favorit. Entahlah, dimulai sejak Alice in Wonderland hingga The Lone Ranger, pemeran Jack Sparrow ini seolah telah kehilangan sentuhan magis yang dimilikinya dulu dan film-filmnya tak lagi mempunyai daya pikat kuat... meski saya masih bisa menikmatinya (termasuk The Lone Ranger dan The Tourist yang dicaci maki itu!). Transcendence yang pada awalnya diharapkan sebagai sebuah kebangkitan dan penebusan dosa bagi Depp, sayangnya justru membuatnya semakin terperosok ke dalam.. dan ke dalam. Sepertinya, rasa jenuh telah menemui titik akumulasinya.
Memanfaatkan ‘keajaiban teknologi’ untuk menghantarkan kisah, Transcendence berceloteh seputar suami istri yang juga ilmuwan jenius, Dr. Will Caster (Johnny Depp) dan Evelyn (Rebecca Hall), yang mengembangkan A.I. (Artificial Intelligence) melalui teknologi mutakhir dengan tujuan mengubah dunia. Sementara sang sahabat, Max (Paul Bettany), bersedia membantu, sejumlah pihak termasuk pemerintah dan kelompok radikal yang memiliki ketakutan berlebih terhadap kemajuan teknologi merasa terusik. Berada di bawah pimpinan Bree (Kate Mara), kelompok ini melakukan penyerangan di event launching yang berujung pada tewasnya Will. Tidak bisa menerima kenyataan dan demi memastikan seluruh rencana tetap berjalan secara semestinya, Evelyn pun menempuh tindakan ekstrim dengan mengunggah isi otak Will ke program yang mereka rancang. Hasilnya, Will pun bereinkarnasi dalam bentuk A.I.yang luar biasa, mewujudkan ambisi besar Evelyn, dan memberi harapan baru bagi dunia... hingga segalanya tidak lagi bisa dikontrol.
Sekalipun dikembangkan dari premis yang terbilang menjanjikan, Transcendence tak pernah benar-benar menjelma menjadi sebuah suguhan yang mampu mengikat penonton. Tuturannya yang kelewat njelimet disajikan oleh Wally Pfister, sutradara debutan yang lebih dikenal sebagai DOP langganan Christopher Nolan, dengan rasa yang begitu hambar, bertele-tele, tidak menarik, dan gersang. Segersang kota gurun Brightwood yang disulap menjadi sentra riset oleh Evelyn dan Will. Paruh pembukanya berjalan secara perlahan (bahkan kelewat pelan!) yang berpotensi membuat penonton manapun yang menyaksikannya dalam kondisi lelah, kurang bersemangat, atau pada dasarnya mudah mengantuk, dibuat tertidur pulas. Sebuah catatan bertuliskan ‘run from this place’ yang muncul pada suatu adegan seolah tidak hanya ditujukan kepada Evelyn, tetapi juga para penonton yang nyaris mati kebosanan di dalam bioskop.
Ketika mata sudah terasa begitu berat, hingga rasanya ingin memejamkannya saja tak peduli lagi apa yang akan terjadi di layar, kehidupan dalam film yang merentang hingga 119 menit (namun serasa 140 menit lebih) mulai terdeteksi. Ini terjadi pada paruh ketiga tatkala Evelyn menemukan keraguan di dalam hatinya perihal keputusan yang telah dibuatnya. Dengan dibubuhi sedikit gelaran aksi, sedikit semangat dalam diri ikut terpacu – untuk pertama kalinya setelah puluhan menit yang menyiksa. Tapi mungkin itu lebih disebabkan karena film akan segera berakhir dan saya dapat kembali menghela nafas lega. Rasa-rasanya, jika saya meneguk segelas kopi sebelum menyaksikan Transcendence yang begitu membosankan dan melelahkan ini, mungkin pengalaman menonton yang saya dapatkan akan sedikit berbeda. Mungkin.
Seolah belum cukup mengenaskan, deretan pengisi departemen akting diTranscendence pun sama sekali tidak membantu. Okay, Rebecca Hall memang tampil cukup mengesankan dan sedikit memberi nyawa, tetapi dia adalah satu-satunya yang bermain apik. Johnny Depp masih mengingatkan kita kepada Jack Sparrow, Kate Mara dan Paul Bettany seperti kebingungan hendak melakukan apa, sedangkan Morgan Freeman, Cillian Murphy dan Cole Hauser disia-siakan begitu saja. Kehadiran mereka mudah digantikan oleh siapapun – termasuk pemain pendatang baru yang rela dibayar murah sekalipun. Tapi untungnya, di tengah kondisi yang serba memprihatinkan ini, film masih terdongkrak oleh hadirnya Jess Hall yang melensakan setiap adegan dengan indah dan menawan sehingga Transcendence pun tak sepenuhnya terhidang sebagai sebuah sajian dengan presentasi yang memalukan. Phew.