Terkadang niat baik saja memang tak cukup, tengok saja posternya “Kesurupan Setan”, jarang-jarang film horor kita membuat poster yang “sesederhana” poster di film arahan sutradara Subakti Is ini. Posternya beda pakai ilustrasi dan bukan tumpukan foto asal ceplok pakai editan asal jadi, seperti umumnya poster horor lokal yang sudah-sudah. Saya yang sebetulnya buta dengan “Kesurupan Setan” jadi tertarik untuk menonton karena terbujuk rayu posternya—tak pernah baca sinopsis dan melihat trailer—pilihan yang kemudian saya sesali hahahaha. Niat baik itu juga terlihat dari keinginan Subakti yang ingin melepas image buruk film horor kita yang melulu dibumbui esek-esek. “Saya ingin mengubah paradigma dan pola pikir masyarakat kalau film yang bagus dan laku tidak harus dengan bumbu sex, tapi dengan kualitas cerita yang baik dan penggarapan yang bagus,”, begitu kata Subakti di salah-satu media online. Subakti juga ingin filmnya bukan sekedar hiburan tapi memiliki pesan moral: menghargai pentingnya nilai sebuah persahabatan. Jadi apakah dengan niat baik membuat film horor tanpa belahan dada dan paha, disisipi pesan moral dan poster yang beda, lantas membuat film horor produksi Ganesa Perkasa Films (Loe Gue End, Laskar Cilik, Leak) ini horor yang bener? Kalau jawabnya “iya”, saya tak mungkin bilang “menyesal”.
Ada apa dengan horor belahan dada? Menurut saya film horor yang dibuat agak-agak erotis pun bisa bagus kalau ditangani dengan benar, bukan bermodal otak kotor pembuat filmnya saja. Namun, disini kan beda, horornya nga ada, belahan dada eksis sepanjang durasi mengalahkan penampakan hantunya sendiri. Jadi, yang harus diperbaiki otak pembuat filmnya dulu, kalau filmnya memang bagus, pola pikir orang-orang tentang film kita juga ikutan baik sendiri. Oke, Subakti di kutipan diatas sebut-sebut soal “kualitas cerita yang baik dan penggarapan yang bagus”, sayangnya “Kesurupan Setan” tak memiliki kedua poin tersebut. Pesan moral? Iyah mungkin ada, tapi saya datang ke bioskop bukan untuk dijejali film horor penuh pesan moral, jadi saya tak peduli mau ada atau tidak. Penyakit yang sering kambuh di film Indonesia, terlalu dibebani dengan pesan moral, tapi tidak didukung oleh penyampaian cerita yang nyaman untuk saya nikmati. Ngomong-ngomong kenapa saya jadi terlalu serius untuk film yang sejak awal ternyata tak punya niat untuk menakuti, melainkan untuk membuat saya tertawa. Tak pantas disebut film horor, “Kesurupan Setan” malah jadi sajian komedi yang begitu epik. Sebuah film yang benar-benar menguji nyali sekaligus mental, apakah saya siap dan berani ambil resiko otak saya bakal geser setelah menonton film ini.
Opening “Kesurupan Setan” memang menjanjikan, ala-ala pembuka film dedemit Hollywood, sehabis itu saya seperti berada di rumah, karena bungkusnya tidak beda dengan film horor rumahan yang sering diputar salah-satu stasiun televisi. Tidak perlu lama-lama, sepuluh menit pertama film sudah menjelaskan kualitas film ini secara keseluruhan, tak ubahnya sinetron yang difilmkan. Entah kenapa bioskop kita masih saja majang film-film yang harusnya cocok untuk konsumsi televisi saja. Entah bagaimana “Kesurupan Setan” menyiapkan dialog-dialognya, cerita dan adegan horornya, karena semua kompak membuat filmnya jadi super-berantakan. “Kesurupan Setan” harusnya diformat jadi film bisu saja, karena jika boleh disuruh memilih, saya lebih baik tak pernah mendengarkan dialog film ini. Dialognya betul-betul “horor”, sulit dicerna, wajar jika kemudian saya malah jadi muntah-muntah, muntah darah pula. Dialog-dialognya yang absurd sejak sedari awal memang sudah disiapkan untuk menemani cerita yang juga tak kalah bikin logika seperti dijungkir-balik berkali-kali. Alhasil kepala seperti habis tertabrak truk gandeng, otak terlalu serong, saya sempat hilang ingatan begitu keluar dari bioskop, untungnya hanya beberapa belas menit saja.
Saya harusnya tak usah meneruskan dan bilang menyerah sambil melambaikan tangan ke arah kamera, begitu “Kesurupan Setan” menjejakkan kakinya di paruh keduanya. Karena “horor” yang sebenarnya terletak di paruh tersebut, tak hanya ceritanya yang makin mengada-ngada, membuat otak ini semakin mengkerut, dialog-dialognya pun semakin dangkal, berharap tiba-tiba sound system bioskop rusak dan saya tak perlu lagi mendengarkan karakter-karakternya bercuap-cuap terlihat bodoh. Sayangnya doa saya tak terkabul, apalagi ketika adegan-adegan yang dipersiapkan untuk menakuti justru menambah deretan penderitaan saya. Sudah rahasia umum jika kebanyakan film horor kita mengandalkan keeksisan si hantu untuk menakuti, penampakan beratus-ratus kali lebih penting ketimbang membangun atmosfir yang diperlukan. “Kesurupan Setan” tak punya banyak lagi durasi hanya untuk menciptakan suasana creepy yang mendukung sebuah film yang ber-settingrumah hantu. Bagaimana tidak kehabisan durasi, karena untuk sebuah adegan kaget saja, “Kesurupan Setan” butuh setengah jam untuk masing-masing pemainnya. Setiap adegan kaget punya formula yang sama, diawali oleh bebunyian efek jeng-jeng-jeng, kamera kemudian menyorot lebih dekat wajah si pemain yang sedang memamerkan skill tingkat tinggi untuk berakting melotot-melotot. Jadi sejak awal, untuk berbagi durasi dengan kemunculan si setan, tidak perlu adegan untuk membangun segala tetak-bengek atmosperik, kelamaan dan buang-buang waktu. Saya pun sudah buang-buang waktu menonton film horor yang setannya standby ci-luk-ba setiap lima menit sekali. Jadi apakah “Kesurupan Setan” sudah punya kualitas cerita yang baik dan penggarapan yang bagus?
Rating :