Ketika kebanyakan warga Jakarta hanya bisa mengeluh betapa muak, menderita dan kesalnya setiap hari kena macet, lewat media sosial macam twitter. Boni, Ho dan Titi punya cara lain untuk mengeluarkan unek-unek mereka, lewat lagu yang mereka buat sendiri, dinyanyikan dari bis ke bis, dari pagi hingga malam. Mereka adalah pejuang jalanan, bertarung dengan kerasnya Ibukota yang semakin brutal dari hari ke hari, makin sewenang-wenang dan tampak seperti kota tanpa aturan saja. Katanya kota yang beradab, tapi semua sirna ketika wajah manis tersebut harus tercoreng oleh tingkah-laku manusianya yang hidup bagai manusia gua, ya manusia gua, perlu contoh: silahkan iseng jalan-jalan pas jam pulang kantor. Mau mereka yang pakai motor butut ataupun mereka yang berkendara dengan mobil mewah, sama saja, hidup di jalan dengan arogan tanpa aturan. Buang sampah di jalan sembarangan, motor naik trotoar, mobil-mobil tak mau antri dan mengalah, terobos lampu merah dan bunyi klakson yang tidak manusiawi.
Wajah manusia Jakarta yang sebenarnya bisa dilihat ketika di jalan, mereka yang menyebut diri mereka orang kota, justru kampungan. “Jalanan” mengajak kita melihat sisi lain dari Jakarta, masuk kampung dan kolong jembatan, menengok orang-orang yang tampaknya lebih beradab ketimbang mereka yang tinggal di hotel ataupun apartemen mewah sekalipun. Melihat Boni, Ho dan Titi, saya jadi benar-benar iri ketika melihat mereka lebih bisa menikmati Jakarta, walaupun Jakarta begitu keras pada para pengamen ini. Saya tahu dimana Boni dan istrinya tinggal, sering melewati jembatan itu, tapi saya tak pernah tahu kalau ada orang tinggal disana, ada kehidupan. Boni, Ho dan Titi mungkin memang tak bisa hidup seenak kita (saya dan kalian yang lebih beruntung), walau begitu, mereka punya kelebihan yang kadang kita tak miliki, yaitu bisa menikmati apa yang sekarang mereka miliki, tidak semua orang bisa seperti itu, saya kadang lupa bagaimana cara menikmati apa yang saya punya. Boni, Ho dan Titi bukan saja mengingatkan saya untuk lebih bisa menikmati hidup, menikmati pekerjaan saya, mensyukuri setiap pemberian Tuhan pada saya, mereka juga mengetuk hati saya.
Ada nyanyian merdu yang berasal dari nurani yang memberontak, ada rangkaian puisi yang ditulis oleh hati yang menjerit, “Jalanan” hadirkan kejujuran yang saya tak pernah lihat karena terhalang beton-beton kemunafikan, masih ada manusia-manusia yang masih bisa dibilang manusia dibalik wajah angkuh Jakarta. Melalui lagu buatan Ho, rasa muak saya diwakilkan, muak terhadap omong kosong yang tiap hari saya dengar dari bacot mereka yang menunjuk diri mereka benar, tidak ada habisnya mengatasnamakan rakyat demi menjual diri mereka sendiri, orang-orang munafik yang hanya bisa berorasi omong kosong. Seperti kata Ho: “omong kosong”, ketika berbaur bersama kerumunan orang-orang yang berteriak-teriak tentang reformasi dan menuntut perubahan. Lagu yang diusung Ho, bukan hanya lagu tinggal cuap-cuap demi recehan, tapi benar-benar karangan hati. Dalam soal bermusik, Ho yang punya nama asli Bambang Mulyono saya akui begitu berbakat dan yang paling penting musiknya jujur, suaranya memang tak sebagus penyanyi kontes-kontes bakat di televisi tapi setidaknya dia punya keunikan dalam setiap membawakan lagunya, ekspresi yang tidak palsu. Menghibur, hingga saya cepat-cepat merogoh kantong celana untuk ikut memberikan recehan.
Saya mendapat banyak pelajaran berharga selama mengikuti Ho, Boni dan Titi, 107 menit dalam “Jalanan” justru terasa kurang. Disodorkan apa-adanya, pesan-pesan yang ingin disampaikan juga tak berusaha menjejalkan kita secara paksa, sebaliknya kita seperti sedang mengobrol dengan teman, mendengarkan curhat mereka, sambil sesekali bercanda dan kita saling tertawa. Dari bercerita tentang kehidupan mereka dijalan hingga soal pribadi, “Jalanan” tahu bagaimana sajikan dokumenternya untuk enak ditonton, tak banyak basa-basi dan membiarkan kita untuk berbaur bersama karakter-karakter utama disini. Karakter-karakter yang sejak menit awal sudah sukses membuat saya terhubung dengan mereka, walau tidak kenal tapi sudah seperti seorang sahabat yang lama tak bertemu. “Jalanan” tak menjual gambar-gambar indah, tapi memperlihatkan gambar-gambar jujur, potret asli kota yang kita tinggali, yang semakin lama makin asing. Melalui ketiga karakternya kita diajak untuk menelusuri kisah sederhana tentang perjuangan di kota yang tak lagi seramah dulu. Kota yang menyingkirkan siapa saja yang lemah dan meminggirkan orang-orang seperti Ho dan teman-temannya. Tapi “Jalanan” bukan memaparkan kesedihan, ini bukan tipikal film yang meminta-minta belas kasihan simpatik penonton, melainkan bercerita tentang semangat dari Ho, Boni dan Titi bukan saja sebagai pengamen (Ho menyebut dirinya pelacur seni) tapi juga sebagai seorang manusia yang berjuang demi apa yang dianggapnya benar. Terima kasih Ho, Boni dan Titi untuk ceritanya.
Rating :