Apabila Anda menganggap Captain America adalah seorang superhero yang culun dengan kemampuan yang terbilang tak istimewa ketimbang rekan-rekan sesamanya yang berada di bawah naungan Marvel, mungkin anggapan tersebut akan berubah seketika setelah menyaksikan sepak terjangnya di Captain America: The Winter Soldier. Russo bersaudara – yang lebih dikenal sebagai sutradara sitkom televisi – memutuskan untuk merombak habis si kapten, dimulai dari desain tampilan kostum hingga tatanan penceritaan, usai jilid pertamanya yang terasa lembek dan cenderung mudah dilupakan. Selayaknya apa yang dialami oleh film lain dalam fase kedua Marvel Cinematic Universe (MCU) – ya, itu berarti Iron Man 3 dan Thor: The Dark World – yang nantinya akan bermuara di Avengers: Age of Ultron, maka Captain America: The Winter Soldier pun mereduksi keceriaan di dalamnya dan membawanya ke ranah yang lebih kelam dengan jalinan kisah yang lebih kompleks.
Berselang dua tahun setelah peristiwa di New York yang menggemparkan, Steve Rogers atau Captain America (Chris Evans) yang kini menetap di Washington DC, direkrut oleh S.H.I.E.L.D. sebagai salah satu prajurit andalan mereka dan menjadi rekan kerja Nathasa Romanoff atau Black Widow (Scarlett Johansson). Akan tetapi, tentu saja kehidupan baru dari Steve ini tak berjalan begitu saja dengan mudahnya. Di tengah-tengah upayanya dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan modern, sebuah konspirasi politik tingkat tinggi yang menyelimuti S.H.I.E.L.D. menyeretnya untuk turut terlibat di dalamnya. Secara mendadak, tidak ada lagi yang dapat dia percaya di organisasi yang menaunginya ini. Secara mendadak pula, seseorang yang memiliki relasi erat dengannya di masa lalu ‘dibangkitkan dari kubur’ dan hadir kembali dalam kehidupannya.
Walau sempat diremehkan oleh berbagai kalangan lantaran jejak rekam Anthony Russo dan Joe Russo dalam menggarap film panjang yang tergolong cethek, kenyataan yang terjadi keduanya membuktikan mampu menghidangkan Captain America: The Winter Soldier sebagai sebuah sajian yang superior ketimbang The First Avenger. Bahkan, rasanya aman untuk menyebutnya sebagai salah satu yang terbaik dalam MCU bersanding dengan Iron Man jilid pertama dan The Avengers. Tidak sekadar sebuah film aksi superhero biasa, The Winter Soldier diberkahi naskah padat berisi racikan Christopher Markus dan Stephen McFeely yang memiliki kandungan thriller spionase berbalut politik pekat semacam seri Bourne dan Bond di dalamnya sehingga dapat memberikan kompleksitas ke dalam jalinan pengisahan. Ada sebuah keasyikan tersendiri tatkala kita mencicipinya, memberikan sensasi ketegangan yang datang silih berganti terlebih plot yang dikedepankan pun penuh liku dan kejutan.
Hanya saja, film tidak panas dalam waktu sekejap. Menit-menit awal dari The Winter Soldier berlalu dengan perlahan – kalau tak mau dibilang lamban cenderung menjemukan – demi memberikan gambaran kepada penonton perihal permasalahan yang mengguncang stabilitas S.H.I.E.L.D. Rasa asyik untuk mengikuti film mulai terpantik dalam adegan penyergapan Nick Fury (Samuel L. Jackson) di jalan raya. Dimulai dari sini, grafik daya tarik penceritaan The Winter Soldier berangsur-angsur mendaki ke puncak dan tetap bertahan di atas hingga credit title bergulir. Untuk mencuri perhatian para penonton – khususnya penonton awam yang bukan penggemar fanatik Marvel – maka Russo bersaudara pun tidak hanya memperluas jangkauan penceritaan, tetapi juga memperlebar cakupan skala di gelaran aksi. Apabila Anda merasa jilid pertama tidak cukup mengakomodir keinginan untuk menyimak film superhero yang gegap gempita, maka The Winter Soldier melakukannya.
Dengan kucuran dana yang mencapai $170 juta, Russo bersaudara pun tak menyia-nyiakan amanah dari para petinggi. Mereka menyajikan gelaran aksi yang masif, eksplosif, dan nyaris tak diberi jeda – khususnya di paruh akhir. Yang menarik, di samping ledakan-ledakan dan kehancuran bangunan (dan alat transportasi) yang tentunya menjadi menu wajib di film superhero berbujet raksasa, ada sesuatu yang berbeda dalam The Winter Soldier... sentuhan martial art! Captain America dengan cita rasa The Raid – Ya, Russo bersaudara pun secara terbuka mengakui sumber inspirasinya ini melalui sebuah wawancara – itulah yang saya rasakan. Si Kapten yang kaku dan seolah tak memiliki kemampuan bertarung yang mumpuni, menunjukkan aksinya di sini melalui serangkaian pertarungan jarak dekat dan tangan kosong kala menghadapi lawannya dengan koreografi laga serta tangkapan kamera yang sedikit banyak memang mengingatkan saya pada The Raid. Direkatkan menggunakan efek khusus yang mulus, pergerakan kamera yang dinamis, serta editing yang cekatan, menjadikan gelaran ini berjalan begitu seru, menyenangkan, dan menegangkan. Rasa-rasanya Captain America tidak akan lagi dipandang sebelah mata paska Captain America: The Winter Soldier yang memuaskan ini.
Note : Sebaiknya Anda tidak terburu-buru beranjak dari kursi bioskop setelah film berakhir. Dua credits scene, terletak di pertengahan dan penghujung, memberi petunjuk penting berkenaan dengan Avengers: Age of Ultron.
Rating :