Jennifer Lawrence dapat saja berkilah bahwa keterlibatannya dalam House at the End of the Street adalah murni hanyalah sebuah usaha untuk memperluas jangkauan aktingnya dengan membintangi banyak film dari genre yang bervariasi. Sayangnya, siapapun yang telah menyaksikan House at the End of the Street yang diarahkan oleh Mark Tonderai ini jelas tidak akan dapat menyangkal bahwa Lawrence telah melakukan kesalahan besar dengan memilih untuk terlibat dalam proses produksi film ini. Walau dirinya masih mampu menampilkan kemampuan aktingnya yang sangat tidak mengecewakan, namun dengan eksekusi naskah cerita yang begitu datar, House at the End of the Street tetap saja akan gagal untuk mampu tampil sebagai sebuah thriller yang menarik.
Dengan naskah yang ditulis oleh David Loucka (Dream House, 2011), House at the End of the Street berkisah mengenai seorang wanita yang baru bercerai, Sarah (Elisabeth Shue), dan bersama dengan puterinya, Elissa (Lawrence), kemudian memilih untuk pindah ke sebuah kota kecil untuk memulai kembali hidup mereka. Rumah yang didapatkan Sarah sendiri terlihat bagaikan sebuah rumah impian setiap orang. Dengan ukuran yang cukup besar, rumah tersebut dikelilingi oleh pepohonan yang rindang dan nyaman. Sayang, kenyamanan tersebut tidak berlangsung begitu lama bagi Sarah dan Elissa ketika mereka kemudian mengetahui sebuah rahasia kelam dari masa lalu kota tersebut.
Rumah yang ditempati Sarah dan Elissa saat ini ternyata bertetangga dengan sebuah rumah yang pada beberapa tahun lalu sempat menjadi saksi bisu sebuah tragedi berdarah yang menewaskan sang pemilik rumah. Kekhawatiran Sarah semakin menjadi setelah ia mengetahui bahwa satu-satunya anak yang selamat dalam tragedi tersebut, Ryan Jacobson (Max Thieriot), masih tinggal disana sendirian. Kekhawatiran Sarah tersebut justru memicu rasa keingintahuan Elissa terhadap siapa Ryan sebenarnya… yang kemudian berujung pada semakin dekatnya hubungan mereka… dan menguak lebih banyak kejadian misterius lainnya.
Dengan plot cerita yang relatif (sangat) sederhana dan cenderung klise, 101 menit durasi akhir House at the End of the Street sebenarnya masih dapat dipersingkat dengan membuang banyak adegan dan cerita yang kurang esensial dari dalam jalan cerita film ini. Sayangnya, Mark Tonderai justru seperti lebih tertarik untuk mengembangkan plot cerita tambahan yang tidak berarti tersebut daripada berusaha untuk menghadirkan dan meningkatkan kadar intensitas ketegangan cerita di dalam film. Tentu saja, beberapa plot kejutan telah disiapkan di beberapa bagian cerita. Namun, sejujurnya, plot-plot kejutan tersebut sama sekali tidak mampu memberikan sebuah penceritaan yang menarik.
Satu-satunya yang masih dapat ditoleransi dalam film ini adalah penampilan para jajaran pemerannya. Jennifer Lawrence masih mampu menghadirkan sisi menarik dari karakternya yang sebenarnya merupakan karakter gadis tipikal di sebuah film horor. Chemistry yang ia ciptakan bersama Elisabeth Shue juga terlihat meyakinkan sebagai sebuah hubungan ibu dan anak yang bermasalah. Max Thieriot juga tidak tampil mengecewakan. Walaupun, lagi-lagi, karakter yang ia perankan benar-benar merupakan karakter yang dangkal dan sama sekali tidak menarik untuk diikuti kisahnya.
House at the End of the Street sepertinya akan memenuhi setiap ekspektasi penonton akan sebuah film thriller sederhana yang masih menggunakan berbagai formula standar film-film thriller Hollywood. Sayangnya, sutradara film ini, Mark Tonderai, sepertinya tidak berkeinginan untuk mengeksplorasi lebih banyak lagi berbagai sudut dari jalan penceritaan yang ingin ia sampaikan. Akhirnya, terlepas dari penampilan yang layak dari para jajaran pengisi departemen akting film ini, House at the End of the Street tampil sebagai sebuah film thriller yang hadir benar-benar tanpa rasa ketegangan sama sekali. Datar dan jauh dari kesan menarik.
Rating :