Beberapa hal dalam plot Divergent mungkin tidak jelas terpapar. Beberapa kali muncul ke permukaan tanpa ada eksposisi yang benar-benar solid. Mengganggu? Mungkin. Tapi itu tidak menghalangi Divergent menjadi sebuah film terbaru yang diangkat dari novel young adult, untuk tampil dengan cukup mencuri perhatian.
Bagian pertama dari trilogi rekaan Veronica Roth ini berseting di Chicago dalam era dystopia dimana masyarakat dibagi dalam lima faksi, yang secara mencurigakan bisa jadi representasi asumsi jika rejim fasisme tidak pernah benar-benar mati.
Shailene Woodley adalah Tris yang harus berpisah dengan orangtuanya (Ashley Judd dan Tony Goldwyn) karena memilih untuk meninggalkan faksi lamanya dan bergabung dengan kumpulan yang tampaknya terdiri dari para adrenaline junkies.
Tapi Tris sebenarnya sebuah anomali. Ia adalah seorang Divergent. Sosok yang tidak hanya memiliki satu dari lima sifat yang menjadi ciri setiap faksi, namun semuanya. Dan bagi Jeanine Matthews (Kate Winslet), salah seorang pimpinan fraksi (yang sepertinya sulit membedakan antara determinatif dan otoriter), seorang Divergent berbahaya bagi stabilitas sehingga harus dilenyapkan.
Divergent berbicara tentang eksistensialisme. Pakem yang sebenarnya tidak asing bagi film remaja. Tapi Divergent bukan Mean Girls. Ancaman bagi Tris bukan hanya dalam bentuk peer-pressure atau konformitas, tapi juga menyangkut keselamatan hidup dirinya atau banyak orang lain. Ini mungkin yang membuat Divergent cenderung lebih berat daripada film remaja biasanya.
Neil Burger (The Illusionist, Limitless) seperti punya beban antara menjadikan Divergent sebagai sebuah thriller serius berbumbu aksi-laga dengan tone yang gelap atau mengikuti trend film YA yang mengedepankan romansa. Jujur saja, keduanya tidak benar-benar menonjol.
Kharisma Theo James sebagai tandem percintaan bagi karakter yang diperankan oleh Shailene Woodley cukup efektif. Tapi perkembangan hubungan mereka kurang memiliki aspek romantisme itu sendiri. Cenderung seperti dipaksakan untuk saling jatuh cinta . Kurang mengalir. Kurang rapi. Keterbatasan durasi bisa jadi menjadi penyebab, berbeda dengan media buku yang menjadi sumbernya.
Syukurnya pengarahan Burger cukup renyah untuk diikuti. Dan Divergent memiliki lebih banyak aksi mendebarkan ketimbang The Hunger Games untuk membuat kita fokus kepada layar. Beban praktis tertumpu ke pundak Woodley sebagai penggerak cerita. Ada kekurangan, tapi secara umum ia menjalankan tugasnya dengan sukses.
So yeah, for me it’s really a satisfying start, if not memorable, for a strong young adult franchise.
Rating :