Dapatkah Anda benar-benar menyalahkan para produser film Need for Speed karena tergoda untuk berusaha memfilmkan sebuah permainan video bertema dunia balapan mobil setelah kesuksesan komersial besar-besaran yang diraih oleh seri film The Fast and the Furious (2001 – 2013)? Mungkin tidak. Diadaptasi dari salah satu seri permainan video paling sukses di dunia yang telah diproduksi semenjak dua dekade lalu, Need for Speed memberikan ruang penceritaan yang cukup leluasa bagi para pencipta filmnya karena mengingat ketiadaan jalan cerita yang mengikat dalam seri permainan video itu sendiri. Ditangani oleh penulis naskah George Gatins yang dibantu dengan dukungan struktur cerita arahan John Gatins (Flight, 2012), Need for Speed dibangun dengan formula alur penceritaan yang jelas akan mampu memuaskan mereka yang menikmati film-film aksi balapan sejenis. Lalu bagaimana formula penceritaan tersebut kemudian ditangani oleh sang sutradara Scott Waugh (Act of Valor, 2012)?
Need for Speed berkisah mengenai seorang mantan pebalap mobil bernama Tobey Marshall (Aaron Paul) yang bersama rekan-rekannya, Benny (Scott Mescudi), Joe Peck (Ramón Rodríguez), Finn (Rami Malek) dan Pete (Harrison Gilbertson), mengelola sebuah bengkel modifikasi mobil. Meskipun memiliki usaha tersebut, Tobey dan teman-temannya giat mengikuti ajang balapan mobil jalanan ilegal guna mendapatkan uang tambahan. Suatu hari, seorang pesaing berat Tobey, Dino Brewster (Dominic Cooper), datang ke bengkel Tobey dan memintanya untuk melakukan modifikasi pada sebuah mobil klasik dengan bayaran yang cukup tinggi. Meskipun teman-temannya menolak karena tidak ingin Tobey terlibat bisnis apapun dengan Dino yang terkenal akan kelicikannya, namun karena sedang membutuhkan uang untuk menyelamatkan bengkel yang ia kelola, Tobey akhirnya menerima tawaran pesaingnya tersebut. Meskipun terpaksa, teman-teman Tobey akhirnya bersedia untuk turut membantunya.
Benar saja. Tobey dan teman-temannya dengan mudah dapat menyelesaikan proses modifikasi mobil dengan hasil yang begitu memuaskan. Bahkan, mobil tersebut dapat terjual dengan harga jauh diatas perkiraan Dino berkat modifikasi Tobey dan rekan-rekannya yang berhasil membuat mobil tersebut mampu melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi. Sebelum memberikan bayarannya kepada Tobey, Dino memberikan tantangan untuk beradu balapan dengannya di jalanan. Jika Tobey berhasil mengalahkannya, maka Dino akan menyerahkan seluruh uang hasil penjualan mobil kepada Tobey. Tergiur, Tobey akhirnya setuju. Bersama dengan Pete, Tobey mulai melaju di jalanan dan mampu memimpin dalam ajang balapan tersebut. Sial, di menit-menit menjelang kemenangannya, Dino berbuat kecurangan yang menyebabkan Pete terlibat kecelakaan dan meninggal dunia. Dino melarikan diri dan menghilangkan seluruh barang bukti yang menunjukkan bahwa ia terlibat dalam kecelakaan tersebut. Sementara Tobey, selain harus kehilangan sahabatnya, juga harus rela mendekam di penjara selama dua tahun. Dua tahun berlalu, Tobey akhirnya keluar dari penjara. Bersama dengan rekan-rekannya terdahulu, Tobey mulai menyusun rencana untuk membalaskan dendam mereka kepada Dino.
Berbeda dengan seri film The Fast and the Furious yang lebih banyak mengenyampingkan sisi drama untuk mengutamakan sajian aksinya, naskah yang disusun George Gatins untuk Need for Speed justru sepertinya ingin menghadirkan sudut pandang yang lebih mendalam terhadap deretan konflik maupun karakter yang dihadirkan di sepanjang penceritaan film ini. Konflik dan karakterisasi yang dihadirkan memang masih jauh dari kesan berkualitas istimewa namun jelas dihadirkan dengan porsi yang hampir menyetarai durasi kehadiran deretan adegan aksi dalam film ini. Sebuah usaha yang cukup layak diberikan kredit lebih diantara kehadiran banyak kehadiran film aksi yang cenderung terlalu mengeksploitasi adegan kekerasan maupun darah namun tampil kosong dalam sisi pengisahan lainnya.
Meskipun begitu, bukan berarti Need for Speed memiliki presentasi cerita yang berjalan mulus sepenuhnya. Sebagai sebuah film yang berbicara mengenai mobil dan dunia balapan, elemen tersebut tetap menjadi bagian paling esensial yang membuat film ini begitu layak untuk disaksikan. Sutradara Scott Waugh mampu mengemas adegan-adegan balap dengan kualitas produksi yang begitu kuat sehingga tampil meyakinkan sekaligus mampu memberikan momen-momen menegangkan kepada para penontonnya. Waugh sendiri terlihat terbata-bata dalam menyajikan elemen drama dalam film ini. Ketidakistimewaan kualitas penulisan elemen drama Gatins memang memberikan batas tersendiri bagi Waugh untuk mampu menterjemahkannya menjadi lebih padat. Namun kegagalan Waugh untuk menyajikan sisi drama tersebut dalam ritme penceritaan yang sesuai semakin membuat unsur tersebut tampil lemah. Hasilnya, dengan porsi kehadirannya yang sebanding dengan unsur aksi, unsur drama Need for Speed justru menjelma menjadi semacam penyakit dalam tatanan alur penceritaan yang membuat film ini tersendat dalam penceritaannya.
Walaupun bukanlah sebuah masalah yang cukup serius, lemahnya jalinan chemistry antara jajaran pemeran Need for Speed cukup mengurangi kekuatan elemen penceritaan yang pada dasarnya bertumpu pada kisah persahabatan yang terbentuk antara masing-masing karakter. Jalinan romansa antara karakter Tobey Marshall dan Julia Maddon (Imogen Poots) juga sering terasa dipaksakan. Untungnya, jajaran pemeran film ini masih mampu tampil lugas dalam menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Aaron Paul memiliki kharisma yang cukup kuat untuk ditempatkan sebagai aktor utama dan memimpin alur penceritaan film. Begitu juga dengan Poots, Dakota Johnson, Michael Keaton dan jajaran pemeran lainnya. Penampilan Dominic Cooper sebagai karakter antagonis utama juga seringkali mampu tampil mencuri perhatian. Cooper terlihat begitu natural dan bersenang-senang dalam usahanya untuk menghidupkan karakter yang ia perankan dalam film ini.
Meskipun diadaptasi dari sebuah permainan video legendaris yang telah berusia 20 tahun, Need for Speed jelas terasa sebagai sebuah usaha untuk meraih kesuksesan komersial di lahan yang sama seperti yang terjadi pada The Fast and the Furious. Dari sisi penyajian aksi dan adegan balapannya, Scott Waugh harus diakui mampu menyajikan elemen tersebut dengan cukup meyakinkan. Adalah penyajian kisah drama film serta kekuatan chemistry antara setiap pemeran yang terasa lemah di banyak bagian yang kemudian membuat Need for Speed menjadi terkesan memiliki kualitas presentasi kelas dua. Buruk? Tidak juga. Namun Need for Speed jelas membutuhkan ketangguhan dan kecepatan yang lebih prima lagi jika film ini masih ingin bertahan lama dalam bersaing dengan kakak kelasnya, The Fast and the Furious.
Rating :