Butuh 7 tahun untuk sebuah sekuel bukanlah hal yang aneh. Tapi, sama halnya dengan Sin City (2005), yang juga merupakan adaptasi dari novel grafis Frank Miller, 300 (2006), karena satu dan lain hal, baru tahun ini mendapatkan sebuah kelanjutan dalam 300: Rise of an Empire, walau secara komersil dan juga raupan penggemar, cukup fantastis.
Zack Snyder turun panggung dari jabatan sutradara dan digantikan oleh Noam Murro (Smart People), meski secara tone dan atmosfir masih mengadopsi gaya Snyder. Visual masih mempertahankan pemakaian palet warna artifisial dan dipenuhi efek khusus guna mengadopsi konsek grafis dari novelnya. Perbedaannya, Murro terlalu bersemangat untuk memercikan darah CGI ke depan layar guna memanfaatkan gimmick 3D-nya.
Penggunaan efek khusus yang ekstensif bisa jadi mengurangi tingkat kekejaman dari berbagai kekerasan yang terpapar di layar. Terlepas dari itu, Murro masih mampu menghadirkan adegan laga yang seru untuk disimak, meski dari segi naskah, film jelas keteteran dalam membangun kisah yang padat.
Tentu saja ada karakter-karakter yang berdialog dan memaparkan ekposisi, memberi penjelasan verbal tentang apa yang terjadi, termasuk peran narator yang kini disandang oleh Ratu Gorgo (Lena Headey). Kadang-kadang Themistocles (Sullivan Stapleton), karakter sentra film, berorasi menggugah semangat. Sayangnya terasa datar dan insignifikan dalam membangun epik yang megah.
Padahal konsep 300: Rise of an Empire dikembangkan lebih luas oleh Zack Snyder dan Kurt Johnstad sebagai penulis naskah. Bahkan patut dipuji dengan memberi alur yang membingkai peristiwa sebelum dan sesudah 300. Tidak hanya itu, sang pengusasa Persia, Xerxes (Rodrigo Santoro), pun mendapat jatah pembahasan asal-usul.
Pemilihan Artemisia sebagai poros antagonis utama juga menarik dan diperankan dengan menawan oleh Eva Green. Tapi, sebagaimana karakter lainnya dalam film, dia hanya bertugas mengisi jeda dari berbagai adegan laga yang menjadi porsi utama 300: Rise of an Empire.
Rating :