Dengan naskah yang ditulis oleh John Ridley (Red Tails, 2012) berdasarkan memoir berjudul Twelve Years a Slave: Narrative of Solomon Northup, a Citizen of New-York, Kidnapped in Washington City in 1841, and Rescued in 1853 yang ditulis oleh Solomon Northup, 12 Years a Slave mencoba untuk berkisah mengenai seorang pria Afro-Amerika merdeka yang terjebak dalam tindak perbudakan di masa-masa ketika warga kulit hitam di Amerika Serikat masih dipandang sebagai warga kelas bawah. Kisahnya sendiri diawali dengan memperkenalkan Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor), seorang Afro-Amerika yang bekerja sebagai seorang tukang kayu dan pemain bola serta tinggal bersama istri, Anne (Kelsey Scott), dan kedua anak mereka, Margaret (Quvenzhané Wallis) dan Alonzo (Cameron Zeigler), di Saratoga Springs, New York, Amerika Serikat. Suatu hari, Solomon mendapatkan tawaran bekerja sebagai seorang musisi selama dua minggu di Washington DC oleh dua orang pria, Brown (Scoot McNairy) dan Hamilton (Taran Killam). Karena tertarik dengan sejumlah uang yang ditawarkan oleh kedua pria tersebut, Solomon akhirnya menerima tawaran mereka. Sial, begitu tiba di Washington DC, Solomon justru dijebak dan dijual sebagai seorang budak.
Setelah melalui serangkaian siksaan fisik, Solomon kemudian dikirimkan ke New Orleans dimana ia diberikan identitas baru sebagai Platt dan dijual kepada seorang pemilik perkebunan bernama William Ford (Benedict Cumberbatch) – yang kemudian ia panggil dengan sebutan Master Ford. Hubungan Solomon dengan Master Ford berjalan baik dengan sang tuan bahkan sempat memberikan sebuah biola sebagai sebuah hadiah pada Solomon. Namun, sebuah ketegangan yang terbentuk antara Solomon dengan seorang pekerja kulit putih bernama John Tibeats (Paul Dano) lantas memaksa Master Ford untuk menjual Solomon kepada seorang pemilik perkebunan kapas bernama Edwin Epps (Michael Fassbender). Berbeda dengan Master Ford, Epps adalah sosok yang begitu kasar terhadap para pekerjanya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, Solomon berusaha bertahan dari kesewenang-wenangan Epps agar dapat tetap hidup serta melarikan diri dan kembali ke keluarga yang ia cintai.
12 Years a Slave jelas bukanlah sebuah film yang dapat dengan mudah untuk disaksikan. Penulis naskah film ini, John Ridley, sepertinya ingin memastikan setiap penontonnya untuk dapat merasakan bagaimana perjuangan dan tetes darah karakter-karakter utama berkulit hitam pada jalan cerita 12 Years a Slave dalam memperjuangkan hidup serta kehormatan mereka. Ridley dengan jeli memperhatikan setiap detil perjalanan hidup serta pemikiran karakter Solomon Northup untuk kemudian menjadikan kisahnya terasa begitu personal dan mampu hadir begitu emosional bagi setiap pihak yang menyaksikannya. Untungnya, naskah cerita Ridley tersebut juga mendapatkan dukungan pengarahan yang luar biasa dari Steve McQueen (Shame, 2011) yang mampu menghadirkan kisah arahan Ridley dengan ritme penceritaan yang berjalan perlahan guna memastikan keberadaan setiap aliran emosi yang terdapat dalam naskah cerita Ridley. McQueen juga tidak segan untuk menyajikan adegan-adegan bernuansa kekerasan maupun vulgar untuk memperkuat pernyataan yang ingin disampaikan oleh film ini. Aliran emosi yang begitu mentah inilah yang seringkali membuat 12 Years a Slave begitu sulit untuk disaksikan namun mampu berbicara begitu lantang dan tidak dapat dihindari daya tariknya.
Meskipun begitu, dengan presentasi pengisahan yang mencapai 134 menit, harus diakui bahwa beberapa bagian penceritaan 12 Years a Slave dapat saja dirampingkan untuk mendapatkan tampilan cerita yang lebih efektif. Beberapa karakter pendukung juga terkesan gagal untuk mendapatkan porsi penceritaan yang lebih kuat dengan beberapa diantaranya bahkan berakibat pada ending yang dipilihkan untuk film ini terasa kurang begitu mampu untuk mengikat sisi emosional penonton dibandingkan dengan deretan adegan yang telah tersaji di bagian-bagian penceritaan sebelumnya. Meskipun begitu, “kekurangan-kekurangan” tersebut jelas adalah sebuah sentuhan yang sangat minimalis dalam 12 Years a Slave yang telah begitu berani, jujur dan tanpa kehadiran dramatisasi yang berlebihan dalam pengisahannya.
Selain didukung dengan naskah cerita yang kuat, McQueen juga berhasil mendapat dukungan penampilan akting yang sangat brilian dari setiap pengisi departemen aktingnya. Nama-nama seperti Chiwetel Ejiofor, Michael Fassbender, Lupita Nyong’o, Sarah Paulson hingga Benedict Cumberbatch, Paul Dano, Paul Giamatti, Brad Pitt, Adepero Oduye dan Alfre Woodard yang tampil dalam porsi penceritaan yang sederhana mampu hadir dengan tampilan akting yang begitu memikat. Sebagai satu-satunya pemeran yang tampil hampir di setiap adegan, Ejiofor memiliki kharisma yang dibutuhkan agar karakternya mampu terus memikat perhatian penonton. Beberapa penampilan pendukung dari Nyong’o, Oduye, Paulson, Fassbender dan Dano juga hadir begitu kuat sehingga akan sanggup menyelinap dan tinggal di setiap pemikiran para penonton jauh seusai mereka menyaksikan film ini. Benar-benar barisan penampilan akting yang begitu menghipnotis!
Setelah Hunger (2008) dan Shame yang begitu fenomenal, Steve McQueen ternyata mampu meneruskan kebrilianannya dalam mengarahkan sebuah cerita dalam 12 Years a Slave – yang juga menandai kali ketiganya bekerjasama dengan aktor Michael Fassbender. Berbeda dengan dua film sebelumnya, dengan dibantu naskah cerita arahan John Ridley, McQueen mampu menghadirkan sebuah presentasi cerita dengan sisi emosional yang begitu mentah dan nyata dalam penyampaiannya – hal yang harus diakui membuat 12 Years a Slave kadang sedikit sulit untuk disaksikan. Menyinggung sebuah topik penceritaan yang sensitif, McQueen hadir tanpa batasan dan kejujuran yang dibuat-buat. Pengarahan McQueen juga mampu tampil prima dalam mengarahkan penampilan akting para jajaran pemerannya yang turut membantu agar setiap karakter dalam film ini tampil begitu menghipnotis dalam menceritakan kisah mereka masing-masing. Drama tentang masa perbudakan yang berjalan begitu gelap dan tidak akan mudah dilupakan oleh siapapun seusai menyaksikannya.
Rating :