Dengan konsep pengisahan yang akan segera mengingatkan banyak orang pada Before Sunrise (1995) dan Before Sunset (2004), The Right One memulai kisahnya dengan pertemuan secara tidak sengaja antara Jack (Gandhi Fernando) dan Alice (Tara Basro) di sebuah bar pada suatu pagi di kota Bali. Meskipun awalnya terlihat saling tidak menyukai satu sama lain dalam perkenalan mereka, namun Jack dan Alice segera menemukan persamaan dalam diri mereka: keduanya sama-sama merasa kalau kehidupan yang mereka jalani sekarang begitu monoton dan membosankan. Setelah saling bertukar cerita, Jack yang seorang pegawai bank kemudian mengetahui kalau Alice – yang seorang ahli biolologi laut namun lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor daripada di lapangan – baru saja dirumahkan dari pekerjaannya. Untuk menghibur Alice, Jack akhirnya memutuskan untuk mengajak Alice berkeliling kota Bali dengan skuter merahnya.
Melalui perjalanan tersebut, penonton mulai dapat mempelajari mengenai kisah asmara Jack yang gagal dengan Kate (Sheila Thohir) akibat tingkah laku Kate yang kurang disukai oleh orangtua Jack, Raj (Vijay Kumar) dan Shireen (Haseena Bharata). Sama halnya dengan Jack, Alice ternyata juga masih menyimpan luka hati akibat hubungan asmara terakhirnya dengan Frank (Tim Matindas). Kedekatan yang secara perlahan terbentuk juga membuat Alice membuka diri dengan masalah yang ia hadapi dengan kakaknya, Will (Bran Vargas), yang mulai terus meruncing sejak kematian ibu mereka. Hari terus berjalan seiring dengan perjalanan yang dilakukan oleh Jack dan Alice. Namun, apakah kedekatan yang muncul dalam perjalanan yang dilakukan keduanya dalam sehari tersebut mampu menunjukkan bahwa Jack dan Alice memang ditakdirkan untuk bersama dalam jangka waktu yang lebih lama?
Jelas bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah untuk menggarap sebuah film romansa yang murni hanya mengandalkan dialog serta chemistry yang hangat sekaligus kuat antara kedua pemeran utamanya. Sebelumnya, Angga Dwimas Sasongko berhasil melakukannya dengan sengat baik melalui Hari Untuk Amanda (2010). Meskipun bermasalah di beberapa bagian naskah penceritaannya, Cinta/Mati garapan Ody C. Harahap yang dirilis tahun lalu juga cukup berhasil terselamatkan oleh chemistry erat yang ditampilkan Vino G. Bastian dan Astrid Tiar. Kunci film-film sejenis jelas terletak pada kelihaian sang penulis naskah untuk menciptakan karakter yang benar-benar dapat disukai dengan mudah oleh penonton, kemampuan bercerita dengan baik (dan menarik) melalui penuturan dialog karakter-karakternya sekaligus eksekusi sang sutradara untuk menyajikan pengisahan sederhana tersebut melalui ritme penceritaan yang tepat. The Right One, sayangnya, hampir tidak memiliki berbagai kelebihan tersebut.
The Right One sebenarnya dimulai dengan cukup baik. Adegan perkenalan antara karakter Jack dan Alice di bagian awal film sebenarnya memberikan janji sebuah sajian romansa yang hangat. Namun, selepas kedua karakter meninggalkan lokasi dimana mereka berkenalan, di saat itu pula The Right One mulai mengalami masa-masa sulit untuk bercerita. Naskah cerita yang terkesan begitu terbatas dalam penggaliannya jelas menjadi permasalahan utama bagi film arahan Stephen Odang (Enam, 2007) ini. Naskah cerita yang ditulis oleh Jonathan Cocco jelas bermaksud untuk menjadikan perjalanan yang ditempuh oleh kedua karakter utama film ini dapat menjadi medium bertambahnya kedekatan kedua karakter untuk kemudian membangun sebuah hubungan romansa yang lebih serius lagi di akhir penceritaan. Sayangnya, perjalanan itu gagal untuk diisi dengan rangkaian pengisahan yang menarik. Dialog-dialog yang tercetus antara kedua karakter hampir sama sekali tidak terasa esensial. Plot mengenai garis nasib kedua karakter yang sebenarnya telah selalu bersentuhan di masa lalu juga lebih berkesan sebagai tempelan belaka untuk mengisi ketidakmampuan Cocco dalam menggarap dialog yang harmonis daripada sebagai adegan-adegan yang mampu memberikan informasi yang lebih mendalam mengenai latar belakang kedua karakter. Bagian terburuk dari penceritaan The Right One jelas berada pada paruh ketiganya dimana Cocco sepertinya tidak lagi tahu bagaimana cara menutup penceritaan yang telah ia bangun dan akhirnya memberikan konflik klise mengenai kebimbangan hati kedua karakter utama yang digambarkan berputar-putar tanpa kejelasan yang kuat.
Berbicara mengenai karakter, penulisan Cocco untuk karakter-karakter yang hadir di film ini juga memberikan ruang yang cukup sempit bagi penonton untuk dapat membangun jalinan emosional pada mereka. Kemuraman yang terpancar dari kisah masa lalu yang dialami kedua karakter tergambar terlalu kuat sehingga menyingkirkan kehangatan yang seharusnya dapat dirasakan penonton dari kebersamaan kedua karakter. Hasilnya, daripada menyaksikan dua karakter yang saling tidak mengenal satu sama lain untuk kemudian mulai membangun hubungan romansa mereka penonton justru dihadapkan pada dua orang karakter yang terus menerus mengeluh tentang kesukaran hidup mereka di sepanjang presentasi film ini. Hal ini juga yang membuat plot mengenai “berjuang untuk cinta” yang hadir di penghujung film terasa sia-sia karena penonton sama sekali tidak melihat hadirnya alasan mengapa kedua karakter layak untuk memperjuangkan cinta dari satu sama lain.
Keterbatasan penulisan karakter tersebut jelas memberikan batasan pada penampilan akting para pengisi departemen akting film ini. Kedua pemeran utama, Gandhi Fernando dan Tara Basro, hadir dengan penampilan yang tidak buruk. Sayangnya, chemistry yang tercipta antara keduanya terasa begitu hampa di banyak bagian penceritaan sehingga, sekali lagi, sulit untuk mempercayai kalau kedua karakter yang mereka perankan sedang jatuh hati terhadap satu sama lain. Pemeran pendukung lain tampil solid dalam memberikan dukungan mereka terhadap kualitas departemen akting film ini. Namun, jika ada bagian yang benar-benar tergarap dengan baik dalam The Right One, maka bagian itu muncul dari sisi sinematografi garapan Robby Susanto yang mampu menangkap keindahan alam Bali dengan begitu sempurna. Ilustrasi musik yang diberikan oleh kolaborasi Oak Tree Suite, Matthew Garrod dan Mjonir sebenarnya juga hadir kuat mengisi adegan-adegan dalam The Right One. Sayangnya, aransemen indie pop yang mereka sajikan untuk film ini terasa tidak pernah benar-benar tampil mengisi film dengan penuh akibat penataan musik yang menghadirkannya secara kurang tepat.
Well… The Right One bukannya tergarap dengan tidak baik. Secara keseluruhan, penonton jelas dapat merasakan bahwa Stephen Odang serta seluruh jajaran produksi film ini telah menghadirkan kualitas produksi yang cukup memuaskan untuk filmnya. Sayangnya, naskah penceritaan yang lemah dan cenderung dangkal benar-benar membuat The Right One seperti membangun jarak yang begitu lebar antara dirinya dengan penonton yang lantas membuat film ini gagal untuk menyajikan pengisahan drama romansa antar dua karakter yang hangat sekaligus kuat dalam memikat perhatian penontonnya. Sinematografi alam Bali yang indah tentu menjadi pemikat tersendiri untuk disaksikan. Namun, kenikmatan dalam menyaksikan gambar-gambar indah jelas bukanlah sebuah alasan kuat untuk mendukung kualitas sebuah film secara seutuhnya. The Right One, sayangnya, gagal untuk tampil dengan kualitas lebih dari sekedar sebuah film dengan tampilan gambar-gambar yang indah.
Rating :