Well… maybe it’s true: tidak semua novel dapat diadaptasi menjadi sebuah penceritaan film layar lebar. Kadang, hal tersebut disebabkan karena beberapa novel memiliki deretan karakter dan plot penceritaan yang terlalu kompleks untuk dapat dijabarkan dengan seksama dalam dua atau bahkan tiga jam penceritaan. Sementara itu, beberapa novel lainnya memiliki struktur penceritaan yang terlalu luas untuk dapat dibawa keluar dari daya imajinasi para pembacanya. Kedua bentuk tantangan inilah yang harus dihadapi oleh Akiva Goldsman ketika mengadaptasi novel karya Mark Helprin yang berjudul Winter’s Tale. Novel tersebut memiliki sejumlah karakter yang cukup rumit dalam penceritaannya serta alur magical realism yang menuntut pembaca untuk larut dalam berbagai fantasi yang dibentuk oleh Helprin sekaligus turut percaya bahwa fantasi-fantasi tersebut dapat terjadi di sekitar lingkungan nyata mereka pada saat yang bersamaan. Jelas sebuah tantangan yang sangat serius – bahkan bagi seorang penulis naskah pemenang Academy Awards seperti Goldsman yang juga bertindak sebagai seorang sutradara bagi film ini.
Winter’s Tale sendiri berlatar belakang kisah di tahun 1916 dengan mengisahkan mengenai kehidupan seorang pemuda bernama Peter Lake (Colin Farrell) yang tumbuh dewasa dibawah asuhan jelmaan setan yang juga pimpinan sebuah kelompok kriminal di Manhattan, Pearly Soames (Russell Crowe). Hubungan keduanya kemudian memburuk ketika Peter memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan Pearly dan kelompok kejahatannya. Tentu saja, keputusan tersebut membuat Pearly mengerahkan seluruh kaki tangannya untuk memburu Peter. Beruntung, di suatu hari ketika ia akan tertangkap, Peter diselamatkan oleh seekor kuda putih ajaib yang dapat terbang dan kemudian terus menjadi pelindungnya. Dengan membawa kuda tersebut, Peter berniat untuk meninggalkan Manhattan dan bergegas berangkat ke Florida.
Dalam perjalanan mereka, kuda putih yang dibawa Peter ternyata secara tidak sengaja mempertemukannya dengan seorang gadis cantik bernama Beverly Penn (Jessica Brown Findlay). Segera saja, hubungan keduanya berkembang menjadi sebuah hubungan romansa dimana keduanya tidak lagi dapat dipisahkan satu sama lain. Hubungan Peter dan Beverly sendiri sepertinya tidak ditakdirkan untuk berlangsung lama. Jauh sebelum Peter bertemu dengan kekasihnya tersebut, Beverly mengidap penyakit tuberkolosis yang kala itu masih belum dapat disembuhkan. Meskipun begitu, jalinan cinta yang terbentuk antara Peter dan Beverly dianggap membahayakan oleh Pearly karena dirinya merasa bahwa Beverly akan memberikan kekuatan magis pada Peter. Karena hal tersebut, Pearly mulai menyusun rencana untuk membunuh Beverly sekaligus menyingkirkan Peter untuk selama-lamanya.
Sebagai sebuah film yang mengemban plot dengan kandungan magical realism di dalam jalan penceritaannya, kelemahan terbesar dari Winter’s Tale jelas terletak dari kegagalannya untuk meyakinkan para penonton bahwa segala hal magis yang dialami oleh setiap karakter adalah benar-benar nyata. Arahan Akiva Goldsman dalam menulis jalan cerita film ini benar-benar terasa setengah matang: gagal dalam memberikan kontinuitas plot penceritaan yang baik sekaligus kurang mampu dalam menggali setiap karakter yang hadir dalam jalan cerita untuk menjadikan mereka deretan karakter yang mampu menjalin hubungan emosional yang kuat dengan penonton. Hasilnya, selain tampil dengan jalan cerita yang kompleks, membingungkan dan sukar untuk dapat dirasakan sebagai sebuah penceritaan yang nyata, alur emosional film yang sebenarnya begitu dibutuhkan untuk dapat membuat film ini benar-benar efektif gagal untuk hadir dengan seksama di sepanjang 118 menit durasi penceritaan Winter’s Tale.
Untungnya, Goldsman mampu menghadirkan deretan jajaran pemeran dengan kapabilitas yang tinggi untuk menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Colin Farrell dan Jessica Brown Findlay jelas-jelas menjadi nyawa utama bagi Winter’s Tale. Chemistry yang mereka jalin begitu kuat sekaligus hangat – sebuah kualitas yang membuat Winter’s Tale kembali terasa membeku setelah kedua karakter yang diperankan Farrell dan Brown Findlay tidak lagi bersama. Russell Crowe, Eva Marie Saint dan William Hurt juga terlihat meyakinkan dalam peran mereka. Jika ada talenta akting yang benar-benar terbuang, maka penampilan tersebut datang dari Jennifer Connelly. Bukan salah aktris pemenang Academy Awards tersebut sebenarnya. Namun karakter yang diperankan oleh Connelly benar-benar hadir begitu dangkal – dengan plot penceritaan modern yang juga menjadi bagian terburuk dari film ini. Sementara itu, Will Smith hadir sebagai kejutan dalam film ini dengan peran yang sepertinya terlalu kecil untuk imej Smith yang telah terlalu besar. Buruk? Tidak juga. Hanya terasa terlalu membuang potensi besar yang ada dalam diri Smith.
Bahkan pada bagian terbaiknya, film yang menjadi debut penyutradaraan bagi Akiva Goldsman ini hanya mampu terasa sebagai sebuah presentasi yang medioker. Tidak pernah benar-benar terasa membosankan maupun buruk namun di saat yang sama juga selalu gagal dalam mengikat perhatian maupun sisi emosional para penontonnya – kelemahan yang muncul akibat kegagalan Goldsman untuk benar-benar menterjemahkan berbagai keajaiban yang terdapat dalam jalan cerita novel Winter’s Tale karya Mark Helprin. Penampilan para pengisi departemen akting film jelas menjadi satu-satunya keunggulan yang membuat Winter’s Tale masih cukup dapat dinikmati – dengan jalinan chemistry antara Colin Farrell dan Jessica Brown Findlay tampil bersinar dan menghidupkan jalinan romansa antara karakter yang mereka perankan. Jelas bukanlah sebuah debut penyutradaraan yang layak untuk dibanggakan.
Rating :