Bagaimana menggambarkan Vampire Academy? Well… pertama-tama, bayangkan deretan karakter vampir yang ada di seri film The Twilight Saga (2008 – 2012) – minus kehadiran tubuh yang bersinar ketika terkena cahaya matahari. Kemudian bayangkan kehidupan para karakter tersebut berada dalam sebuah institusi pendidikan layaknya yang ada dalam seri film Harry Potter (2001 – 2011) dimana mereka setiap harinya berinteraksi dengan jenis bahasa yang familiar dengan para karakter yang ada di Mean Girls (2004). Di atas kertas, kombinasi tersebut mungkin mampu menjadikan Vampire Academy sebagai sebuah film dengan premis yang cukup menjanjikan. Sayangnya, premis kehadiran sebuah film drama komedi remaja yang menyenangkan tersebut lenyap begitu saja ketika Mark Waters dan Daniel Waters mengeksekusi Vampire Academy dengan pengarahan serta naskah cerita yang terlalu lemah untuk dapat membuat film ini terasa menarik untuk disaksikan.
Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Richelle Mead, Vampire Academy berkisah mengenai persahabatan antara seorang dhampir – sebutan untuk mereka yang berdarah campuran antara manusia dan vampir – bernama Rose Hathaway (Zoey Deutch) dengan seorang vampir berdarah murni bernama Lissa Dragomir (Lucy Fry) yang terjalin ketika mereka sama-sama menjalani masa pendidikan mereka di Vampire Academy. Setelah sebuah kecelakaan yang merenggut seluruh keluarga Lissa, Rose memutuskan untuk membawa Lissa keluar dari institusi pendidikan tersebut karena merasakan adanya bahaya yang mengancam kehidupan mereka. Sayang, setelah beberapa lama keluar dari Vampire Academy, keduanya berhasil ditemukan oleh pihak sekolah dan kembali dibawa kesana.
Rose dan Lissa kembali harus menghadapi kejamnya kehidupan masa sekolah. Bosan selalu dianggap sebagai sosok yang lemah, Lissa akhirnya memutuskan untuk menggunakan kekuatan magis agar dapat menarik perhatian seluruh teman-teman sekolahnya. Berhasil, Lissa kini menjadi sosok yang begitu popular di Vampire Academy. Di saat yang bersamaan, bahaya kembali mengancam keduanya setelah Rose mulai mencium adanya gelagat buruk dari beberapa orang di sekitarnya. Setelah melalui penyelidikan yang dibantu oleh mentornya, Dimitri Belikov (Danila Kozlovsky), Rose menyadari bahwa ancaman tersebut datang dari Strigoi – sebutan untuk kaum vampir jahat yang menghisap darah dengan membunuh korbannya – yang berusaha untuk membunuh Lissa. Bersama Dimitri, Rose mulai menyusun rencana untuk mengamankan Lissa dari ancaman yang membahayakan jiwanya.
Vampire Academy sebenarnya memiliki ritme penceritaan yang familiar dengan film-film yang pernah diarahkan Mark Waters sebelumnya seperti Freaky Friday (2003) dan Mean Girls maupun Heathers (1989) yang naskah ceritanya ditulis oleh Daniel Waters. Masalah terbesar bagi Vampire Academy muncul karena kurangnya kemampuan keduanya untuk memberikan sebuah sentuhan baru dalam jalan penceritaan film ini. Daripada berusaha untuk menyajikan rangkaian kisah yang terasa lebih segar, Mark dan Daniel Waters malah terlihat mengambil terlalu banyak referensi dari film-film bernada sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya untuk kemudian dipadupadankan bersama bagi tubuh penceritaan Vampire Academy. Hasilnya, Vampire Academy malah terlihat sebagai versi parodi murahan yang sama sekali tidak lucu dari film-film tersebut seperti halnya Vampires Suck (2010) arahan duo Aaron Seltzer dan Jason Friedberg.
Masalah juga hadir dari penampilan akting para jajaran pemeran film ini. Meskipun hadir dengan penampilan yang tidak begitu buruk, namun masing-masing pemeran terlihat hadir dengan kualitas penampilan yang setengah matang. Medioker. Lihat saja bagaimana Zoey Deutch begitu memaksakan dirinya untuk menjadi Juno (Ellen Page, Juno, 2007) ketika memerankan karakter Rose Hathaway yang memang diberikan banyak dialog tajam. Atau Lucy Fry yang terlihat sangat tidak nyaman dalam menempatkan aksen dalam dialog yang ia ucapkan. Penampilan yang setengah matang juga dapat dirasakan pada Olga Kurylenko dan Sarah Hyland. Memang, karakter-karakter yang mereka perankan dalam film ini juga tidak benar-benar mampu tergali dengan baik. Namun tetap saja penampilan yang tidak “sepenuh hati” tersebut membuat kualitas Vampire Academy menjadi lebih buruk lagi.
Daripada terkesan sebagai sebuah film drama komedi remaja yang memiliki latar penceritaan dan karakter yang menyerupai seri-seri film popular seperti The Twilight Saga atau Harry Potter, eksekusi yang begitu lemah atas Vampire Academy justru membuat film ini terkesan sebagai sebuah versi tiruan murahan dari film-film tersebut. Naskah cerita yang ditulis oleh Daniel Waters jelas menyimpan begitu banyak kelemahan di berbagai bagian penceritaannya. Pengarahan Mark Waters juga terkesan begitu berantakan – mulai dari penataan ritme penceritaan hingga penampilan akting para pemerannya. Hasilnya, Vampire Academy kehilangan seluruh potensi untuk membuat film ini menjadi sebuah sajian yang menyenangkan dan justru menjadi sebuah presentasi yang jauh dari kesan menghibur sekaligus sangat membosankan di sepanjang 104 menit durasi penceritaannya.
Rating :