Masih ingat dengan novel Frankenstein yang ditulis oleh Mary Shelley? Novel yang pertama kali dirilis pada tahun 1818 tersebut telah menjadi sumber inspirasi yang kuat bagi banyak pembuat film dunia. Beberapa diantaranya mengadaptasi Frankenstein sesuai dengan kisah yang dituliskan oleh Shelley sementara yang lain berusaha membawa karakter utama dalam jalan cerita tersebut untuk hidup dalam lingkup penceritaan yang baru – seperti I, Frankenstein. Diadaptasi dari novel grafis berjudul sama karya Kevin Grevioux (Underworld, 2003), I, Frankenstein menempatkan sang monster buatan Victor Frankenstein sebagai seorang karakter yang terjebak dalam perang antara dua kelompok yang berpotensi untuk memusnahkan manusia dari muka Bumi. Sounds good? Jika Anda mengharapkan sebuah film ringan yang begitu bergantung dengan kualitas tata visual efeknya maka film ini mungkin akan mampu memuaskan Anda. Lebih dari itu? Well… that’s another completely different story.
I, Frankenstein dimulai dengan sebuah narasi yang akan mengingatkan penontonnya mengenai bagaimana plot orisinal dari kisah Frankenstein yang ditulis oleh Shelley: Dr. Victor Frankenstein (Aden Young) berusaha untuk membentuk sebuah manusia baru dengan menyatukan potongan-potongan tubuh manusia yang telah meninggal dunia. It works! Dengan beberapa formula ilmiah yang diterapkannya, Dr. Victor Frankenstein berhasil menciptakan sesosok manusia baru (Aaron Eckhart). Sayangnya, melihat sosok manusia baru yang ia ciptakan terlihat begitu buruk dan lebih layak untuk disebut sebagai monster, Dr. Victor Frankeinstein lantas meninggalkannya begitu saja. Dendam, sang monster lantas membunuh istri Dr. Victor Frankenstein, Elizabeth (Virginie Le Brun). Dr. Victor Frankenstein tidak tinggal diam. Ia kemudian berusaha membunuh makhluk yang telah diciptakannya. Niat tersebut gagal ketika malaikat kematian justru datang menjemputnya terlebih dahulu.
Dan barulah kisah I, Frankenstein benar-benar dimulai. Setelah mendapatkan penyerangan dari beberapa kaum setan, sang monster diselamatkan oleh dua orang punggawa kaum gargoyle yang kemudian membawanya ke hadapan ratu mereka, Lenore (Miranda Otto). Oleh Lenore, sang monster kemudian diberi nama Adam. Lenore juga menjelaskan mengenai asal-usul pertempuran yang telah berlangsung ratusan tahun antara kaum setan dengan kaum gargoyle – dimana gargoyle berusaha untuk melindungi manusia yang ada di muka Bumi dari gangguan para setan. Lenore kemudian meminta Adam untuk bergabung bersama dengan pasukannya – sebuah permintaan yang sayangnya kemudian ditolak mentah-mentah oleh monster tersebut. Ratusan tahun berlalu, Adam masih mempertahankan kesendiriannya tersebut. Namun, ketika mengetahui bahwa Pangeran Setan, Naberius (Bill Nighy), sedang menyusun rencana untuk mengambil alih Bumi dari tangan manusia, Adam akhirnya mengunjungi Lenore dan memberikan bantuannya pada gargoyle.
Permasalahan terbesar yang hadir pada I, Frankenstein jelas terletak pada naskah cerita dan pengarahan yang sama-sama diemban oleh Stuart Beattie (G.I. Joe: The Rise of Cobra, 2009). Beattie sama sekali tidak mampu merancang atmosfer penceritaan maupun karakter yang kuat untuk membuat film ini benar-benar hidup. Layaknya sang karakter utama dalam film ini, I, Frankenstein hadir seperti paduan dari berbagai plot penceritaan bertema sama yang kemudian dirajut oleh Beattie dan, sayangnya, menghasilkan sebuah padanan yang benar-benar terlihat buruk – datar dan tanpa adanya jiwa yang mampu memberikan warna pada film ini. Deretan dialog yang dibentuk juga sama buruknya. Pada beberapa bagian, dialog-dialog tersebut bahkan membuat interaksi yang terjalin antar karakter terasa begitu hampa. Secara sederhana, I, Frankenstein hadir dengan naskah cerita yang berkualitas begitu hampa.
Jika ada kualitas yang masih dapat diharapkan dari I, Frankenstein, maka hal tersebut mungkin datang dari kualitas tata produksi dan penampilan akting para jajaran pemerannya – meskipun hadir dalam kualitas yang masih jauh dari kesan istimewa. Berbicara mengenai tata produksi, I, Frankenstein bahkan dapat digolongkan sebagai sebuah film yang benar-benar mengandalkan tata produksinya untuk menggerakkan penceritaan film ini. Atmosfer kekelaman yang dibawakan oleh jalan cerita benar-benar sanggup dihadirkan dengan baik oleh kualitas tata produksi film. Departemen akting yang berisi penampilan dari nama-nama seperti Aaron Eckhart, Bill Nighy, Miranda Otto, Jai Courtney dan Yvonne Strahovski juga memberikan usaha terbaik mereka untuk menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan – meskipun masing-masing pemeran hadir dengan chemistry yang minim satu sama lain dan karakter-karakter yang terlalu datar untuk mampu dihidupkan bahkan oleh para aktor dan aktris dengan kemampuan akting paling watak sekalipun.
Membosankan. Kata sifat tersebut merupakan satu kata yang paling tepat dalam menggambarkan kualitas presentasi I, Frankenstein secara keseluruhan. Tanpa adanya dukungan pengembangan kisah dan karakter yang benar-benar baik, I, Frankenstein berjalan murni dengan hanya mengandalkan kemampuan tim produksinya untuk menghadirkan tata visual efek dan desain produksi yang masih cukup layak untuk diberikan kredit lebih. Stuart Beattie juga layak diberikan kredit karena, setidaknya, ia menghadirkan filmnya dengan ritme penceritaan cepat yang memang sesuai dengan jalan cerita yang ingin ia hadirkan. Namun tetap saja, beberapa keunggulan tersebut tidak mampu menghidupkan jalan cerita I, Frankenstein yang telah jatuh mati jauh sebelum film ini sempat menggulirkan inti penceritaannya.
Rating :