Retak Gading berkisah mengenai perjuangan seorang gadis bernama Gading (Chelsy Liven) dalam menghadapi berbagai permasalahan asmara yang menghampiri kehidupannya. Awalnya, Gading telah menemukan sosok pendamping yang begitu sempurna dalam diri seorang pria tampan dengan kepribadian baik yang bernama Bintang (Detri Warmanto). Sayang, beberapa bulan setelah menjalin hubungan asmara, Bintang secara tiba-tiba memutuskan jalinan kasih mereka tanpa alasan yang jelas. Parahnya, Bintang kemudian menghilang begitu saja dari kehidupan Gading. Jelas saja Gading menderita patah hati yang begitu mendalam. Hanya ibunya (Christine Hakim) seorang yang mampu mendamaikan jiwa Gading di tengah rundungan rasa sakit yang dirasakannya.
Secara perlahan, Gading akhirnya mampu melanjutkan kembali kehidupannya. Ia bahkan mulai membuka hatinya untuk Bara (Ammar Zoni) – yang sebenarnya telah lama menyukai Gading namun kalah bersaing dengan Bintang. Tidak begitu lama berpacaran, Gading dan Bara akhirnya memutuskan untuk menikah. Disaat itulah, Bintang kemudian kembali dalam kehidupan Gading dan mencoba menjelaskan alasan kepergiannya. Kehadiran Bintang lantas membuat Bara berang. Pria tersebut berubah dari sosok yang begitu mengasihi Gading menjadi sosok yang begitu pencemburu dan bahkan mampu berbuat kasar pada Gading. Sekali lagi, Gading ditinggalkan oleh pria yang ia cintai begitu saja. Mampukah Gading menyembuhkan hati dari luka yang kembali dialaminya?
Retak Gading adalah film perdana bagi banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Film ini merupakan film pertama yang diproduseri oleh Diad Ote – yang juga bertanggung jawab untuk penulisan naskah sekaligus penataan musik. Film ini juga menjadi debut penyutradaraan bagi Bayu Pamungkas yang sebelumnya bertugas sebagai penata gambar pada film Belahan Jiwa (2005) dan Mudik Lebaran (2011). Yang terakhir, Retak Gading merupakan penampilan perdana ketiga bintang utamanya, Chelsy Liven, Detri Warmanto dan Ammar Zoni, dalam sebuah film layar lebar. Sayangnya, kurangnya pengalaman untuk mengolah dan tampil dalam sebuah film layar lebar itulah yang kemudian membuat Retak Gading hadir dengan kualitas yang begitu lemah – jika tidak ingin menggambarkannya sebagai sebuah presentasi yang buruk. Hampir tidak ada yang dapat dinikmati dari film yang berjalan selama 120 menit (!) ini.
Jika ada yang harus memikul tanggungjawab yang cukup besar atas lemahnya penampilan film ini maka hal tersebut harus diarahkan pada Diad Ote. Naskah yang ia arahkan benar-benar dangkal dan lemah. Kisah yang disajikan tidak lebih dari sekedar jalinan melodrama yang kemudian terkesan dipanjang-panjangkan konflik penceritaannya. Sialnya, usaha untuk memanjangkan konflik tersebut tidak diiringi dengan kemampuannya dalam bercerita dengan baik. Kualitas penceritaan masih diperburuk dengan kehadiran karakter-karakter yang begitu lemah penggambarannya. Setiap karakter digambarkan memiliki perubahan sikap yang kadang hadir secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan keberadaannya. Belum lagi dengan adanya usaha Diad Ote dalam menyinggung masalah sosial politik dengan kehadiran karakter Pak dan Bu Jenggot (Buanergis Muryono dan Jajang C Noer) atau mencoba menghadirkan sentuhan relijius di beberapa bagian ceritanya. Terasa campur aduk tanpa arah pengisahan yang benar.
Tidak mengherankan, jalan cerita yang buruk kemudian mendapatkan pengarahan yang setara kualitasnya. Bayu Pamungkas jelas tidak mendapatkan ruang yang cukup untuk mengeluarkan kemampuan pengarahannya dengan naskah yang begitu lemah. Meskipun begitu, alur penceritaan yang hasil arahan Bayu Pamungkas juga tidak membuat Retak Gading menjadi lebih baik penceritaannya. Seringkali film ini hadir dengan ritme yang terlalu lamban pada satu bagian dan berjalan dengan cepat serta melupakan banyak detil penceritaan di bagian lainnya. Bayu Pamungkas juga gagal mengeluarkan kemampuan akting para pemainnya. Kecuali para aktor dan aktris senior seperti Christine Hakim, Jajang C Noer dan Buanergis Muryono, para pemeran utama film ini hadir dengan kemampuan akting yang medioker. Chelsy Liven dan Ammar Zoni bahkan terlihat begitu kaku penampilannya di banyak bagian. Yang cukup mengherankan, sebagai seorang yang pernah bertugas sebagai penata gambar, Bayu Pamungkas justru kurang memperhatikan kualitas penataan gambar film ini. Satu adegan dalam film ini – ketika karakter Bintang dikisahkan resign dari pekerjaannya – bahkan tampil dengan penataan gambar yang berantakan. Buruk!
Jelas sangat mengherankan untuk melihat Christine Hakim dan Jajang C Noer mau tampil dalam Retak Gading. Film ini sama sekali tidak memiliki tema penceritaan yang istimewa. Naskah cerita yang ditulis oleh Diad Ote juga menyimpan kelemahan di begitu banyak bagiannya. Jelas, penampilan baik nan alami yang disajikan Christine Hakim dan Jajang C Noer membuat kehadiran keduanya terasa begitu timpang dalam film ini. Bagaikan langit dan Bumi. Well… tak ada gading yang tak retak (excuse the pun!). Namun keretakan kualitas eksekusi yang dihadirkan pada Retak Gading jelas telah begitu parah dan membuatnya tidak layak untuk diperhatikan sama sekali. Kesalahan pemula? Mungkin saja. Tapi tetap saja tidak menutup fakta bahwa film ini hadir dalam kualitas yang begitu menyedihkan.
Rating :