Review

Info
Studio : Universal Pictures
Genre : Drama, Romance
Director : Shana Feste
Producer : Pamela Abdy, Stephanie Savage, Josh Schwartz, Scott Stuber
Starring : Alex Pettyfer, Gabriella Wilde, Bruce Greenwood, Joely Richardson, Robert Patrick

Minggu, 16 Februari 2014 - 17:09:01 WIB
Flick Review : Endless Love
Review oleh : Amir Syarif Siregar (@Sir_AmirSyarif) - Dibaca: 4423 kali


Diadaptasi dari novel karya Scott Spencer, film drama romansa, Endless Love (1981), arahan Franco Zeffirelli popular karena dua hal: menjadi film pertama yang dibintangi Tom Cruise serta lagu tema berjudul sama yang dinyanyikan oleh duet Diana Ross dan Lionel Richie yang kemudian berhasil meraih nominasi Academy Awards di kategori Best Original Song sekaligus menjadi salah satu lagu tersukses di sepanjang karir kedua penyanyinya. The movie itself? Not so much. Meskipun mampu meraup keuntungan komersial dalam skala menengah, Endless Love mendapatkan banyak kritikan tajam akibat plot ceritanya yang cenderung berjalan monoton serta deretan karakter yang hadir dengan penggalian yang cukup dangkal. Sebuah drama romansa medioker yang mudah terlupakan begitu saja. Lalu perubahan apa yang dapat ditawarkan oleh Endless Love versi modern yang diarahkan oleh Shana Feste (Country Strong, 2010) ini?

Well… Meskipun masih mendasarkan kisah dan karakternya dari novel yang sama, versi terbaru Endless Love yang naskah ceritanya ditulis sendiri oleh Feste bersama dengan Joshua Safran menawarkan plot penceritaan yang jauh berbeda dari kisah yang dihadirkan oleh novel maupun film pertama Endless Love. Sayangnya, berbagai perubahan yang dilakukan Feste dan Safran masih tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengangkat kualitas penceritaan Endless Love. Kisah yang ditawarkannya tetap saja terasa terlalu datar untuk mampu memberikan atmosfer romansa pada penontonnya. Beruntung, versi terbaru dari Endless Love memiliki Alex Pettyfer dan Gabriella Wilde di barisan terdepan jajaran pemerannya. Pettyfer dan Wilde hadir dengan chemistry yang cukup meyakinkan untuk menjadikan Endless Love setidaknya masih layak untuk disaksikan sebagai sebuah drama romansa yang ditujukan pada kaum remaja.

Endless Love sendiri menawarkan jalinan kisah romansa klasik: cerita mengenai dua orang remaja yang berasal dari dua strata sosial berbeda yang kemudian saling jatuh cinta satu sama lain. Dua orang remaja tersebut adalah David Elliot (Pettyfer) dan Jade Butterfield (Wilde). Meskipun menghabiskan pendidikan mereka di sekolah yang sama, namun David sama sekali tidak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkan kekagumannya pada Jade. Selain karena kepribadiannya yang begitu tertutup – hal yang menyebabkan Jade sama sekali tidak memiliki seorangpun teman di masa sekolahnya, Jade adalah puteri seorang dokter kaya raya, Dr. Hugh Butterfield (Bruce Greenwood), yang masa depannya untuk mengikuti jejak sang ayah menjadi seorang dokter telah disusun secara sempurna. Namun, garisan takdir kemudian mempertemukan keduanya. Semenjak berkenalan, David dan Jade menjadi pasangan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Hubungan keduanya jelas memberikan rasa kekhawatiran bagi ayah Jade. Puteri yang dahulu dikenalnya begitu tertutup dan hanya memiliki tujuan hidup untuk menjadi seorang dokter seperti dirinya kini berubah menjadi sosok yang lebih terbuka serta terkesan melupakan begitu saja berbagai rencana hidup yang telah disusunnya. Layaknya setiap orangtua yang berusaha melindungi puterinya, Dr. Hugh Butterfield lantas melakukan berbagai cara untuk memisahkan David dengan Jade. Meskipun awalnya berbagai tantangan tersebut tidak mempengaruhi keduanya, secara perlahan, hubungan David dan Jade mulai dirundung masalah demi masalah. David harus berusaha sekuat mungkin untuk mempertahankan Jade dalam kehidupannya.

Berbeda dengan Endless Love dalam versi novel karya Scott Spencer maupun versi film arahan Franco Zeffirelli, naskah Endless Love versi terbaru yang digarap Shana Feste dan Joshua Safran sepertinya mengurangi porsi kisah percintaan antara karakter David Elliot dan Jade Butterfield untuk memberikan ruang penceritaan yang lebih besar pada transformasi karakter Jade Butterfield dari seorang remaja yang begitu mengikuti keinginan orangtuanya menjadi sosok wanita yang sedang berusaha mencari jati dirinya – meskipun kisah romansa antar kedua karakter utama tersebut masih menjadi bagian esensial bagi film ini. Proses transformasi tersebut dihadirkan dengan penggambaran mengenai hubungan karakter Jade Butterfield dengan kedua orangtuanya, saudaranya, orang-orang di sekitarnya serta, tentu saja, kekasihnya yang kemudian secara perlahan mengubah kepribadiannya. Sebuah pilihan yang cukup tepat mengingat kisah cinta antara karakter Jade Butterfield dan David Elliot yang dihadirkan dalam versi novel dan film pertama Endless Love benar-benar hadir dalam warna cerita yang begitu monoton.

Sayangnya, di saat yang bersamaan, Feste dan Safran gagal untuk memberikan penggalian kisah yang mampu mendalami plot cerita yang ingin mereka hadirkan. Hasilnya, Endless Love lagi-lagi terasa gagal dalam membangun jalinan emosional yang kuat dengan penontonnya akibat beberapa alur cerita yang kurang berkembang pengisahannya hingga karakter-karakter pendukung yang hadir dengan porsi penceritaan yang kurang memadai. Jalinan kisah cinta yang terbentuk antara dua karakter utamanya juga masih disajikan dengan formula standar drama romansa Hollywood yang kadang malah terasa sebagai sebuah opera sabun yang sering hadir di layar televisi. Tidak buruk namun benar-benar gagal untuk tampil kuat dalam bercerita.

Bagian yang mungkin masih dapat sangat dinikmati dari Endless Love mungkin berasal dari penampilan para jajaran pemerannya. Meskipun bukanlah tergolong deretan penampilan yang istimewa, para pengisi departemen akting film ini mampu memberikan penampilan yang cukup mampu menghidupkan setiap karakter yang mereka perankan. Dua pemeran utamanya, Alex Pettyfer dan Gabriella Wilde, juga hadir dengan chemistry yang cukup meyakinkan. Shana Feste juga berhasil memberikan penyegaran kepada susunan kisah Endless Love yang cenderung klasik (atau malah usang?) dengan menyajikannya bersama tata produksi yang unggul – mulai dari tata sinematografi yang indah hingga sajian lagu-lagu indie pop modern yang mengisi dengan kuat di setiap adegan film.

Dengan performa film pertamanya yang lemah serta susunan ceritanya yang cenderung klise adalah cukup mengherankan untuk melihat Hollywood memilih untuk tetap menghadirkan versi modern dari Endless Love daripada berusaha menghadirkan sebuah kisah drama romansa remaja yang benar-benar baru – bahkan ketika Shana Feste dan Joshua Safran telah melakukan perombakan terhadap kisah asli Endless Love. Feste sendiri terlihat telah berusaha maksimal untuk memberikan kehidupan pada filmnya. Pemilihan jajaran pemeran yang tepat serta tata produksi yang kuat terbukti mampu membuat Endless Love setidaknya masih cukup layak untuk disaksikan. Lebih dari itu, dengan susunan cerita yang gagal untuk berkembang dengan baik di banyak bagian, Endless Love hadir sebagai remake yang tetap mengulangi berbagai kesalahan film awalnya. Masih cenderung monton. Masih akan terlupakan begitu saja.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.